Pages

Sunday, December 28, 2014

Si Penguntit dan Pecinta soda

Aku tak ingin berharap lagi. Jika pada akhirnya semua selalu sama. Aku berharap tak pernah berharap seperti ini lagi. Ya, semoga.
Aku bertemu lagi dengan dirinya malam itu, di pesta yang sama. Setelah sekian lama tak berjumpa aku yakin bahwa rasa yang pernah kurasakan sudah tak sama. Kulihat dirinya sekali lagi untuk membuktikan keyakinan itu, dan memang benar semuanya biasa saja. lalu aku tersenyum,  meninggalkan tempat yang tadi kugunakan untuk melihatnya dan berjalan menuju dapur untuk mengambil sekaleng soda. Pesta memang selalu menyenangkan  bagiku, disini aku bertemu orang-orang yang bertingkah aneh saat mereka mabuk, atau ada orang yang mencuri perabotan, bahkan tak jarang mereka yang menganggap rumah itu seperti rumahnya sendiri. Dan soda adalah pengembali semangatku.

“Sedang apa kau disini?”
Aku menoleh ke arah suara itu berasal, dan terkesiap. Aku merasa seperti seorang maling yang tertangkap basah sedang mencuri. Damn! Apa yang dia lakukan disini?
“Kau tak lihat?” aku menggoyangkan kaleng soda “Minum”
“Bukan itu. Maksudku sedang apa kau di pesta ini? Bukankah kau tak diundang?” dia menatapku heran
Aku menghela nafas, “Darimana kau tahu? Apa pesta ini memerlukan undangan? Pesta ini bebas, siapapun boleh bergabung.”
“Kau salah. Pesta ini hanya untuk orang-orang yang mempunyai undangan. Dan kau...” Dia memperhatikanku dari atas ke bawah lalu kembali lagi ke atas “Kau pasti tak mempunyai undangan.”
“Kau terlalu sok tahu.” Aku menengguk habis soda yang tersisa di kaleng dan melemparnya ke sembarang tempat.
“Karena aku yang membagikan undangannya”
Aku tak bisa mengelak. Jika bukan dia yang membagikan undangannya, aku mungkin tak akan terdiam seperti itu. Kau memang maling yang tertangkap basah!
“Baiklah. Mungkin ini waktunya aku pulang.” Aku berjalan melewatinya dan berhenti sebentar. “Pesta yang cukup bagus. Sayang sekali aku tidak bisa mengikutinya sampai berakhir”
“Kau tak akan bisa, karena memang kau tak di undang. Selamat tinggal”
“Ya ya ya terserah apa katamu. Selamat tinggal, pembagi undangan ahaha..” Aku tertawa sambil keluar dari pesta itu, keluar dari rumah itu, dan keluar dari keadaan memalukan itu.
“Kenapa aku tak tahu kalau pesta itu memerlukan undangan? Sial sial!” Aku menggerut.
___

Aku sudah melupakan kejadian memalukan dalam pesta minggu lalu, dan sekarang aku berada dalam sebuah pesta lain. Aku sudah memastikan bahwa pesta ini tak memerlukan undangan karena ini adalah pesta temanku. Dan seperti biasa, aku menari mengikuti dentuman irama  sampai lelah. Setelah benar-benar  merasa lelah, aku akan meminum soda untuk mengembalikan lagi semangat berpestaku. Dapur menjadi tempatku untuk beristirahat sejenak sambil meminum soda.

“Kenapa kau selalu meminum soda”
Aku menoleh , menghela nafas. “Kenapa kau selalu menggangguku?”
“Aku hanya bertanya”
“Dan aku tak mau menjawab”. Aku meminum kembali soda kalengan itu.
“Kau menjawabnya”. Dia tertawa “Hahaha dasar bodoh”
“Terserah”
Aku malas menanggapinya, dan memilih menyibukan diri dengan kue yang ku temukan di dapur. Ini enak!
“Aku selalu melihatmu di setiap pesta, dan kau selalu berada di dapur untuk meminum soda.”
Kegiatanku terhenti. Bagaimana dia bisa tahu aku selalu meminum soda di dapur? Jangan-jangan..
“Kau menguntitku?!”. Aku menatapnya tajam. Bagaimana mungkin aku baru menyadarinya? Bodoh bodoh bodoh.
“Menguntit? Oh tidak tidak, kau salah. Aku hanya sering melihatmu secara tak sengaja. Dan kau selalu melakukan hal yang sama. Aku hanya menebaknya saja. Apa aku benar?”
“Kau memperhatikanku? Untuk apa?”. Aku menyelidikinya. Mencari-cari bahwa dia memang benar seorang penguntit.
“Sudah kubilang aku hanya melihatmu dengan tidak sengaja.”
“Kau penguntit”
“Aku bukan peng… ah sudahlah. Aku hanya penasaran dengan apa yang kau lakukan”
“Memang apa yang kulakukan?”
“Kau selalu menari lalu meminum soda didapur.”
“Oh." Aku mengangguk. Dia memandangku dengan tatapan penuh tanya. Apa yang salah? Aneh. Aku mengacuhkannya dan mengambil kembali kue yang enak itu. Mmm, sepertinya aku harus membungkusnya untuk dirumah.
Aku menikmati kue itu dengan penuh kenikmatan.
“Hei!” Dia berteriak dan merebut tumpukan kue enak itu. “Apa aku tak terlihat disini?”
Aku memandangnya heran. “Kau terlihat sangat jelas.”
“Kau mengabaikanku”
“Lalu?”
Kami berhadapan. Dia menatapku dengan pandangan yang tak bisa ku jelaskan. Dan dia hanya terdiam.
“…”
“Kenapa kau diam?”
“…”
Aku melemparkan tatapan heran. Dan semakin heran karena kami hanya diam dan saling memandang.
“...”
“…”
“Hai guys! Kau harus melihat ini. Ayo!”. Teriakan itu mambuat kami kembali kepada apa yang sedang terjadi. Suasana canggung menyelimuti, dan kami berdua keluar dari dapur tanpa suara.

Aku memisahkan diri darinya dan berjalan menuju kerumunan di halaman belakang. Suasananya sangat berisik dan penuh teriakan menyemangati. Ternyata akan ada petarungan panco. Membosankan bagiku, tapi sepertinya yang lain sangat menikmati. Aku memutuskan pulang.
___

Ini sudah sebulan sejak terakhir kali aku terlibat dalam pesta. Mungkin aku sudah jenuh dengan suasana pesta yang begitu ‘hidup’. Perpustakaan menjadi tempat yang sangat menarik saat ini, tempat pertama kali aku bertemu dengannya, si kutu buku berkacamata. Ini sudah terhitung 2 minggu aku mengunjungi perpustakaan setelah ketidaksengajaan meminjam buku. Di jam yang sama dan tempat duduk yang sama. Aku sudah hafal kapan dia akan duduk di kursi itu, kursi yang tak jauh dari tempat biasa aku memandanginya. Dia akan menghabskan waktunya selama setengah jam untuk membaca, lalu pergi mengambil buku lain dan duduk kembali dan aku dengan betah ikut duduk memandanginya, selama 1,5 jam.

Kuakui itu memang membosankan. Tapi, melihat wajahnya membuat rasa bosan itu tak pernah ada, untuk sekarang. Seperti saat ini, aku sudah berjalan menuju perpustakaan sedikit lebih awal karena sebentar lagi dia akan berada di perpustakaan. Aku akan berpapasan dengannya dan aku tak sabar itu!
Tapi sesuatu merampas ketidaksabaranku.
Dia berjalan ke arah pintu perpustakaan,
Bersama seorang wanita. Mereka tertawa dan…. Berpegangan tangan.
___

Mungkin ini akan menjadi rekor terbaikku dalam berlari. Entah dengan cara apa dan kekuatan darimana aku bisa sampai dirumah dalam sekian menit. Entahlah mungkin aku hanya menghayal. Aku hanya ingin sampai kamar dan menanggis. Inikah rasanya sakit hati? Seperti inikah rasanya? Aku baru merasakan perasaan yang sangat menusuk ini. Sangat…sulit dituliskan. Aku kecewa, marah, sedih, bahkan senang. aku senang? Apa aku sudah gila sekarang?

Aku butuh pesta. Aku butuh ‘kehidupan’ itu. Aku harus membiarkan kerasnya suara musik menghantam telingaku, membiarkan tubuhku mengikuti iramanya. Aku harus melepaskan kekecewaan ini, dan aku harus melupakan perpustakaan itu.melupakan pria kutu buku itu, dan wanita disampingnya.
___

Entah sebuah kebetulan atau memang Tuhan mengabulkan keinginanku. Malam nanti ada sebuah rumah yang mengadakan pesta. Sebuah pesta dimana orang-orang sebayakku akan melupakan sejenak tentang kerasnya hidup ini. Pesta itu khusus untuk para undangan, dan aku mendapatkan undangan itu. Tak peduli siapa yang mengadakan pesta dan siapa pemilik  rumah itu, yang kubutuhkan hanyalah pestanya, dan sekaleng soda dan yaa mungkin beberapa camilan.

Aku sudah selesai bersiap-siap dan berjalan keluar kamar.
“Kau mau kemana?”  Aku heran kenapa adikku sudah berpakaian rapi, seperti akan berpergian.
“Aku akan kerumah temanku, dia sedang ulang tahun sekarang. Aku pergi dulu. Dah..”
Dia langsung melesat keluar rumah,lalu  kudengar suara motor yang semakin lama semakin tak terdengar. Biarlah.

Aku sampai di tempat pesta. Saatnya mengembalikan dirimu lagi, selamat bersenang-senang~

Dengan bangga aku menunjukan undangan itu dan masuk ke dalam rumah yang cukup besar untuk sebuah pesta. Sepertinya pemilik rumah ini benar-benar memperhitungkan berapa kerugian yang akan diterima jika mengadakan pesta. Irama musik seakan menarikku untuk langsung bergabung dengan orang-orang yang sudah meliukan badannya. Aku langsung menari dengan semangat.

Aku sudah terlalu lelah untuk terus menari, sepertinya kekuatanku menari semakin berkurang karena jarang kulakukan lagi. Aku berjalan menuju dapur dan meminum soda sambil mengistirahatkan kelelahan ini.

“Ternyata kau memang datang”
Aku tak perlu menoleh, sudah tertebak siapa yang bertanya seperti itu.
“Kau benar-benar penguntit”
“Oke terserah kau mau berkata apa.  Aku tak peduli”
“Dan kau mengakui itu”

Seketika hening menyelimuti. Pikiranku melayang, mengelana kembali pada perpustakaan itu. Segalanya terlihat jelas, ya ingatan itu masih sangat jelas. Aku memandang ke arah jendela yang berada di dapur. Sepertinya itu halaman belakang rumah ini. Halaman itu sepertinya luas, banyak lampu taman yang besar menghiasi setiap sudut halaman sehingga terlihat jelas rumput hijau yang menghampar. Halaman itu bertolak belakang dengan keadaan dalam rumah yang ‘kacau’.

Tiba-tiba aku melihat sosok yang tak asing. Siluet wajah itu, aku masih mengingatnya walaupun tanpa kacamata bacanya. Dia berdiri menatap langit. Hanya menatapnya, tanpa melakukan hal lain. Barangkali dia memikirkan sesuatu. Dan seperti biasa, aku menikmati diamnya, seperti saat dia membaca di perpustakaan. Aku seakan terbius oleh pesonanya.

“Melamunkan sesuatu?”. Penguntit itu mengganggu kegiatanku. Menyebalkan.
“Tidak.”
“Lalu?”
“Kau terlalu banyak ingin tahu.”
“Yap, aku memang ingin tahu." Penguntit itu memandang ke arah jendela. “Dan sepertiya aku tahu.”
“Hhh kau sok tahu.” Aku mengejeknya. Berusaha menyembunyikan kebenaran itu.
“Kau menyukainya?”
Gotcha! Apakah terlihat jelas?
“Tidak.”
“Kau berbohong sekarang.” Dia menghela nafas sekali. “Dengarkan aku, jika kau menyukainya maka dekatilah. Jangan hanya memandangnya saja, itu tindakan  bodoh!”
“Aku tidak menyukainya!”. Bohongilah terus hatimu. Selamat! Kau adalah pembohong yang terbaik saat ini.
“Terserah kau ingin jujur atau terus berbohong. Aku hanya memberikan saran. Kau tak akan bisa mendapatkannya dengan hanya memandanginya saja. Kau harus melakukan sesuatu.”
Aku menyerah.
“Dia sudah mempunyai seseorang.” aku menujuk ke arah siluet tubuh itu yang sekarang ada dua.
“Lalu kau akan menyerah? Kau lemah.”
“Ya, aku memang lemah. Dan bodoh.”
“Hei hei kau tak boleh seperti itu, aku hanya bercanda. Dengar, walaupun dia sudah memiliki seseorang bukan berarti dia akan berhenti melihat yang lain. Dekati dia agar dia bisa terus melihatmu. Dan aku berani taruhan dia akan memilihmu.”
“Aku tak bisa. Walaupun dia melihatku, aku tetap tak bisa.”
“Kenapa seperti itu? Hei, sudah kubilang jangan menyerah. Kau memang bodoh.”
“Lalu aku harus merebutnya? Dari kekasihnya yang tak lain adalah adikku sendiri? Apakah aku harus mengkhianati saudaraku sendiri demi hasrat sesaat? Mana yang lebih bodoh?!!”

Aku berteriak meluapkan semua perasaan kecewa yang sudah kutahan sejak kejadian itu. Kulihat dia sedikit terkejut, entah karena aku berteriak atau karena kenyataan itu.

Aku mulai terisak. Air mataku tumpah begitu saja, badanku gemetar menahan tangis yang semakin menjadi dan amarah akibat kekecewaan itu.

“Hei, sorry, aku tak bermaksud. Sungguh, tolong dengarkan aku. Maaf aku tak mengetahui itu semua. Sungguh aku minta maaf”. Penguntit itu merasa bersalah karena apa yang telah dikatakannya “Kau..berhentilah menangis..”
Apa aku bisa berhenti? Tidak. Tangisku semakin menjadi. Isak itu terdengar lebih keras.
“Hei, maaf. Aku benar-bena minta maaf.. ayolah jangan menangis lagi..”
Dia mulai panik karena aku tak bisa berhenti menangis. Penguntit itu memandang iba kepadaku. Lalu dia menarikku. Berlari keluar dari pesta yang seharusnya menjadi penghilang kecewa ini.

Kami terus berlari. Terus berlari sampai tiba di sebuah lapangan luas. Dan aku berhenti menangis karena terlalu lelah berlari.

“A-pha yh-ang k-hau lha-ku-khan?”
Dia menatapku bingung sambil berusaha mengatur kembali pernapasannya. Begitupun aku. Setelah istirahat sejenak, aku kembali menatapnya.

“Apa yang kau lakukan? Kenapa kau menyeretku kesini?” Aku berteriak lagi kepadanya.
“Lepaskanlah.”
Aku melotot. “Apa yang harus kulepaskan, bodoh?!”
“Hei, kau jangan berpikir macam-macam! Lepaskan kekesalan dan kecewamu itu, bukan yang lain. Dasar bodoh!”
Aku menyeringai. Kukira yang lain, fyuhh.
“Kau cantik.”
“Apa? Kau barusan bilang apa?” Aku tidak fokus dengan apa yang diucapkannya.
“Tidak. Aku tidak mengatakan apapun.”
“Aku mendengar kau berkata sesuatu. Apa yang kau katakan?”
“Kalau kau mendengarku kenapa kau bertanya kembali?”
Dia berjalan meninggalkanku.
“Hei kau mau kemana?”
“Pulang.” balasnya sangat singkat.
“Dan kau meninggalkanku sendirian disini?”
“Yap!”
“Setelah apa yang kau lakukan, kau meninggalkanku sendirian disini?”
Dia berhenti berjalan dan berbalik. “Hei, hei, memang apa yang sudah kulakukan?”
“Kau menyeretku kesini.”
“Hanya itu, kan? Itu bukan masalah besar.”
“Dan kau harus bertanggungjawab." Aku sedikit meninggikan nada bicaraku.
Dia lalu berjalan mendekat. “Bisa kau kecilkan suaramu? Kau berbicara seakan sudah terjadi sesuatu disini. Apa yang harus ku pertanggungjawabkan? Mengembalikanmu ke pesta itu agar kau bisa terus memandangnya dengan diam-diam?”
“Bukan. Aku tak akan kembali ketempat itu dan memandangnya.”
“Lalu apa yang harus kulakukan?”
Aku tersenyum. “Antarkan aku pulang.”
Dia membalas senyumku. “Baiklah pecinta pesta dan soda, aku akan mengantarmu sampai ke kamarmu!”
“Hei!”
“Hahaha.. aku hanya bercanda. Dimana rumahmu?”
“Disana.”

Aku menunjukan jalan dan dia mengatarku. Hanya sampai pagar rumah saja, tak lebih. Dan disinilah pertemanan kami dimulai. Si penguntit dan pecinta soda yang menyukai pesta. Bukankah itu aneh?


No comments:

Post a Comment