Aku tak ingin berharap lagi. Jika pada akhirnya semua
selalu sama. Aku berharap tak pernah berharap seperti ini lagi. Ya, semoga.
Aku bertemu lagi dengan dirinya malam itu, di pesta
yang sama. Setelah sekian lama tak berjumpa aku yakin bahwa rasa yang pernah
kurasakan sudah tak sama. Kulihat dirinya sekali lagi untuk membuktikan
keyakinan itu, dan memang benar semuanya biasa saja. lalu aku tersenyum, meninggalkan tempat yang tadi kugunakan untuk
melihatnya dan berjalan menuju dapur untuk mengambil sekaleng soda. Pesta
memang selalu menyenangkan bagiku,
disini aku bertemu orang-orang yang bertingkah aneh saat mereka mabuk, atau ada
orang yang mencuri perabotan, bahkan tak jarang mereka yang menganggap rumah
itu seperti rumahnya sendiri. Dan soda adalah pengembali semangatku.
“Sedang apa kau disini?”
Aku menoleh ke arah suara itu berasal, dan terkesiap.
Aku merasa seperti seorang maling yang tertangkap basah sedang mencuri. Damn! Apa yang dia lakukan disini?
“Kau tak lihat?” aku menggoyangkan kaleng soda “Minum”
“Bukan itu. Maksudku sedang apa kau di pesta ini?
Bukankah kau tak diundang?” dia menatapku heran
Aku menghela nafas, “Darimana kau tahu? Apa pesta ini
memerlukan undangan? Pesta ini bebas, siapapun boleh bergabung.”
“Kau salah. Pesta ini hanya untuk orang-orang yang
mempunyai undangan. Dan kau...” Dia memperhatikanku dari atas ke bawah lalu
kembali lagi ke atas “Kau pasti tak mempunyai undangan.”
“Kau terlalu sok tahu.” Aku menengguk habis soda yang
tersisa di kaleng dan melemparnya ke sembarang tempat.
“Karena aku yang membagikan undangannya”
Aku tak bisa mengelak. Jika bukan dia yang membagikan
undangannya, aku mungkin tak akan terdiam seperti itu. Kau memang maling yang tertangkap basah!
“Baiklah. Mungkin ini waktunya aku pulang.” Aku
berjalan melewatinya dan berhenti sebentar. “Pesta yang cukup bagus. Sayang
sekali aku tidak bisa mengikutinya sampai berakhir”
“Kau tak akan bisa, karena memang kau tak di undang.
Selamat tinggal”
“Ya ya ya terserah apa katamu. Selamat tinggal,
pembagi undangan ahaha..” Aku tertawa sambil keluar dari pesta itu, keluar dari
rumah itu, dan keluar dari keadaan memalukan itu.
“Kenapa aku tak tahu kalau pesta itu memerlukan
undangan? Sial sial!” Aku menggerut.
___
Aku sudah melupakan kejadian memalukan dalam pesta
minggu lalu, dan sekarang aku berada dalam sebuah pesta lain. Aku sudah
memastikan bahwa pesta ini tak memerlukan undangan karena ini adalah pesta
temanku. Dan seperti biasa, aku menari mengikuti dentuman irama sampai lelah. Setelah benar-benar merasa lelah, aku akan meminum soda untuk
mengembalikan lagi semangat berpestaku. Dapur menjadi tempatku untuk
beristirahat sejenak sambil meminum soda.
“Kenapa kau selalu meminum soda”
Aku menoleh , menghela nafas. “Kenapa kau selalu
menggangguku?”
“Aku hanya bertanya”
“Dan aku tak mau menjawab”. Aku meminum kembali soda
kalengan itu.
“Kau menjawabnya”. Dia tertawa “Hahaha dasar bodoh”
“Terserah”
Aku malas menanggapinya, dan memilih menyibukan diri
dengan kue yang ku temukan di dapur. Ini
enak!
“Aku selalu melihatmu di setiap pesta, dan kau selalu
berada di dapur untuk meminum soda.”
Kegiatanku terhenti. Bagaimana dia bisa tahu aku selalu meminum soda di dapur?
Jangan-jangan..
“Kau menguntitku?!”. Aku menatapnya tajam. Bagaimana mungkin aku baru menyadarinya?
Bodoh bodoh bodoh.
“Menguntit? Oh tidak tidak, kau salah. Aku hanya
sering melihatmu secara tak sengaja. Dan kau selalu melakukan hal yang sama.
Aku hanya menebaknya saja. Apa aku benar?”
“Kau memperhatikanku? Untuk apa?”. Aku menyelidikinya.
Mencari-cari bahwa dia memang benar seorang penguntit.
“Sudah kubilang aku hanya melihatmu dengan tidak
sengaja.”
“Kau penguntit”
“Aku bukan peng… ah sudahlah. Aku hanya penasaran
dengan apa yang kau lakukan”
“Memang apa yang kulakukan?”
“Kau selalu menari lalu meminum soda didapur.”
“Oh." Aku mengangguk. Dia memandangku dengan tatapan
penuh tanya. Apa yang salah? Aneh. Aku
mengacuhkannya dan mengambil kembali kue yang enak itu. Mmm, sepertinya aku harus membungkusnya untuk dirumah.
Aku menikmati kue itu dengan penuh kenikmatan.
“Hei!” Dia berteriak dan merebut tumpukan kue enak
itu. “Apa aku tak terlihat disini?”
Aku memandangnya heran. “Kau terlihat sangat jelas.”
“Kau mengabaikanku”
“Lalu?”
Kami berhadapan. Dia menatapku dengan pandangan yang
tak bisa ku jelaskan. Dan dia hanya terdiam.
“…”
“Kenapa kau diam?”
“…”
Aku melemparkan tatapan heran. Dan semakin heran
karena kami hanya diam dan saling memandang.
“...”
“…”
“Hai guys! Kau harus melihat ini. Ayo!”. Teriakan itu
mambuat kami kembali kepada apa yang sedang terjadi. Suasana canggung
menyelimuti, dan kami berdua keluar dari dapur tanpa suara.
Aku memisahkan diri darinya dan berjalan menuju
kerumunan di halaman belakang. Suasananya sangat berisik dan penuh teriakan
menyemangati. Ternyata akan ada petarungan panco. Membosankan bagiku, tapi
sepertinya yang lain sangat menikmati. Aku memutuskan pulang.
___
Ini sudah sebulan sejak terakhir kali aku terlibat
dalam pesta. Mungkin aku sudah jenuh dengan suasana pesta yang begitu ‘hidup’.
Perpustakaan menjadi tempat yang sangat menarik saat ini, tempat pertama kali
aku bertemu dengannya, si kutu buku berkacamata. Ini sudah terhitung 2 minggu aku
mengunjungi perpustakaan setelah ketidaksengajaan meminjam buku. Di jam yang
sama dan tempat duduk yang sama. Aku sudah hafal kapan dia akan duduk di kursi
itu, kursi yang tak jauh dari tempat biasa aku memandanginya. Dia akan
menghabskan waktunya selama setengah jam untuk membaca, lalu pergi mengambil
buku lain dan duduk kembali dan aku dengan betah ikut duduk memandanginya,
selama 1,5 jam.
Kuakui itu memang membosankan. Tapi, melihat wajahnya
membuat rasa bosan itu tak pernah ada, untuk sekarang. Seperti saat ini, aku
sudah berjalan menuju perpustakaan sedikit lebih awal karena sebentar lagi dia
akan berada di perpustakaan. Aku akan
berpapasan dengannya dan aku tak sabar itu!
Tapi sesuatu merampas ketidaksabaranku.
Dia berjalan ke arah pintu perpustakaan,
Bersama seorang wanita. Mereka tertawa dan….
Berpegangan tangan.
___
Mungkin ini akan menjadi rekor terbaikku dalam
berlari. Entah dengan cara apa dan kekuatan darimana aku bisa sampai dirumah
dalam sekian menit. Entahlah mungkin aku hanya menghayal. Aku hanya ingin
sampai kamar dan menanggis. Inikah rasanya sakit hati? Seperti inikah rasanya?
Aku baru merasakan perasaan yang sangat menusuk ini. Sangat…sulit dituliskan.
Aku kecewa, marah, sedih, bahkan senang. aku senang? Apa aku sudah gila
sekarang?
Aku
butuh pesta. Aku butuh ‘kehidupan’ itu. Aku harus membiarkan kerasnya suara
musik menghantam telingaku, membiarkan tubuhku mengikuti iramanya. Aku harus
melepaskan kekecewaan ini, dan aku harus melupakan perpustakaan itu.melupakan
pria kutu buku itu, dan wanita disampingnya.
___
Entah sebuah kebetulan atau memang Tuhan mengabulkan
keinginanku. Malam nanti ada sebuah rumah yang mengadakan pesta. Sebuah pesta
dimana orang-orang sebayakku akan melupakan sejenak tentang kerasnya hidup ini.
Pesta itu khusus untuk para undangan, dan aku mendapatkan undangan itu. Tak
peduli siapa yang mengadakan pesta dan siapa pemilik rumah itu, yang kubutuhkan hanyalah pestanya,
dan sekaleng soda dan yaa mungkin beberapa camilan.
Aku sudah selesai bersiap-siap dan berjalan keluar
kamar.
“Kau mau kemana?”
Aku heran kenapa adikku sudah berpakaian rapi, seperti akan berpergian.
“Aku akan kerumah temanku, dia sedang ulang tahun
sekarang. Aku pergi dulu. Dah..”
Dia langsung melesat keluar rumah,lalu kudengar suara motor yang semakin lama
semakin tak terdengar. Biarlah.
Aku sampai di tempat pesta. Saatnya mengembalikan dirimu lagi, selamat bersenang-senang~
Dengan bangga aku menunjukan undangan itu dan masuk ke
dalam rumah yang cukup besar untuk sebuah pesta. Sepertinya pemilik rumah ini
benar-benar memperhitungkan berapa kerugian yang akan diterima jika mengadakan
pesta. Irama musik seakan menarikku untuk langsung bergabung dengan orang-orang
yang sudah meliukan badannya. Aku langsung menari dengan semangat.
Aku sudah terlalu lelah untuk terus menari, sepertinya
kekuatanku menari semakin berkurang karena jarang kulakukan lagi. Aku berjalan
menuju dapur dan meminum soda sambil mengistirahatkan kelelahan ini.
“Ternyata kau memang datang”
Aku tak perlu menoleh, sudah tertebak siapa yang
bertanya seperti itu.
“Kau benar-benar penguntit”
“Oke terserah kau mau berkata apa. Aku tak peduli”
“Dan kau mengakui itu”
Seketika hening menyelimuti. Pikiranku melayang,
mengelana kembali pada perpustakaan itu. Segalanya terlihat jelas, ya ingatan
itu masih sangat jelas. Aku memandang ke arah jendela yang berada di dapur. Sepertinya itu halaman belakang rumah ini.
Halaman itu sepertinya luas, banyak lampu taman yang besar menghiasi setiap
sudut halaman sehingga terlihat jelas rumput hijau yang menghampar. Halaman itu
bertolak belakang dengan keadaan dalam rumah yang ‘kacau’.
Tiba-tiba aku melihat sosok yang tak asing. Siluet wajah
itu, aku masih mengingatnya walaupun tanpa kacamata bacanya. Dia berdiri
menatap langit. Hanya menatapnya, tanpa melakukan hal lain. Barangkali dia
memikirkan sesuatu. Dan seperti biasa, aku menikmati diamnya, seperti saat dia
membaca di perpustakaan. Aku seakan terbius oleh pesonanya.
“Melamunkan sesuatu?”. Penguntit itu mengganggu
kegiatanku. Menyebalkan.
“Tidak.”
“Lalu?”
“Kau terlalu banyak ingin tahu.”
“Yap, aku memang ingin tahu." Penguntit itu memandang ke
arah jendela. “Dan sepertiya aku tahu.”
“Hhh kau sok tahu.” Aku mengejeknya. Berusaha menyembunyikan
kebenaran itu.
“Kau menyukainya?”
Gotcha!
Apakah terlihat jelas?
“Tidak.”
“Kau berbohong sekarang.” Dia menghela nafas sekali. “Dengarkan
aku, jika kau menyukainya maka dekatilah. Jangan hanya memandangnya saja, itu
tindakan bodoh!”
“Aku tidak menyukainya!”. Bohongilah terus hatimu. Selamat! Kau adalah pembohong yang terbaik saat ini.
“Terserah kau ingin jujur atau terus berbohong. Aku hanya
memberikan saran. Kau tak akan bisa mendapatkannya dengan hanya memandanginya
saja. Kau harus melakukan sesuatu.”
Aku menyerah.
“Dia sudah mempunyai seseorang.” aku menujuk ke arah
siluet tubuh itu yang sekarang ada dua.
“Lalu kau akan menyerah? Kau lemah.”
“Ya, aku memang lemah. Dan bodoh.”
“Hei hei kau tak boleh seperti itu, aku hanya
bercanda. Dengar, walaupun dia sudah memiliki seseorang bukan berarti dia akan
berhenti melihat yang lain. Dekati dia agar dia bisa terus melihatmu. Dan aku
berani taruhan dia akan memilihmu.”
“Aku tak bisa. Walaupun dia melihatku, aku tetap tak
bisa.”
“Kenapa seperti itu? Hei, sudah kubilang jangan
menyerah. Kau memang bodoh.”
“Lalu aku harus merebutnya? Dari kekasihnya yang tak
lain adalah adikku sendiri? Apakah aku harus mengkhianati saudaraku sendiri
demi hasrat sesaat? Mana yang lebih bodoh?!!”
Aku berteriak meluapkan semua perasaan kecewa yang
sudah kutahan sejak kejadian itu. Kulihat dia sedikit terkejut, entah karena
aku berteriak atau karena kenyataan itu.
Aku mulai terisak. Air mataku tumpah begitu saja,
badanku gemetar menahan tangis yang semakin menjadi dan amarah akibat
kekecewaan itu.
“Hei, sorry, aku
tak bermaksud. Sungguh, tolong dengarkan aku. Maaf aku tak mengetahui itu
semua. Sungguh aku minta maaf”. Penguntit itu merasa bersalah karena apa yang
telah dikatakannya “Kau..berhentilah menangis..”
Apa aku bisa berhenti? Tidak. Tangisku semakin
menjadi. Isak itu terdengar lebih keras.
“Hei, maaf. Aku benar-bena minta maaf.. ayolah jangan
menangis lagi..”
Dia mulai panik karena aku tak bisa berhenti menangis.
Penguntit itu memandang iba kepadaku. Lalu dia menarikku. Berlari keluar dari
pesta yang seharusnya menjadi penghilang kecewa ini.
Kami terus berlari. Terus berlari sampai tiba di
sebuah lapangan luas. Dan aku berhenti menangis karena terlalu lelah berlari.
“A-pha yh-ang k-hau lha-ku-khan?”
Dia menatapku bingung sambil berusaha mengatur kembali
pernapasannya. Begitupun aku. Setelah istirahat sejenak, aku kembali
menatapnya.
“Apa yang kau lakukan? Kenapa kau menyeretku kesini?” Aku berteriak lagi kepadanya.
“Lepaskanlah.”
Aku melotot. “Apa yang harus kulepaskan, bodoh?!”
“Hei, kau jangan berpikir macam-macam! Lepaskan kekesalan
dan kecewamu itu, bukan yang lain. Dasar bodoh!”
Aku menyeringai. Kukira
yang lain, fyuhh.
“Kau cantik.”
“Apa? Kau barusan bilang apa?” Aku tidak fokus dengan
apa yang diucapkannya.
“Tidak. Aku tidak mengatakan apapun.”
“Aku mendengar kau berkata sesuatu. Apa yang kau katakan?”
“Kalau kau mendengarku kenapa kau bertanya kembali?”
Dia berjalan meninggalkanku.
“Hei kau mau kemana?”
“Pulang.” balasnya sangat singkat.
“Dan kau meninggalkanku sendirian disini?”
“Yap!”
“Setelah apa yang kau lakukan, kau meninggalkanku
sendirian disini?”
Dia berhenti berjalan dan berbalik. “Hei, hei, memang
apa yang sudah kulakukan?”
“Kau menyeretku kesini.”
“Hanya itu, kan? Itu bukan masalah besar.”
“Dan kau harus bertanggungjawab." Aku sedikit
meninggikan nada bicaraku.
Dia lalu berjalan mendekat. “Bisa kau kecilkan
suaramu? Kau berbicara seakan sudah terjadi sesuatu disini. Apa yang harus ku
pertanggungjawabkan? Mengembalikanmu ke pesta itu agar kau bisa terus
memandangnya dengan diam-diam?”
“Bukan. Aku tak akan kembali ketempat itu dan
memandangnya.”
“Lalu apa yang harus kulakukan?”
Aku tersenyum. “Antarkan aku pulang.”
Dia membalas senyumku. “Baiklah pecinta pesta dan
soda, aku akan mengantarmu sampai ke kamarmu!”
“Hei!”
“Hahaha.. aku hanya bercanda. Dimana rumahmu?”
“Disana.”
Aku menunjukan jalan dan dia mengatarku. Hanya sampai
pagar rumah saja, tak lebih. Dan disinilah pertemanan kami dimulai. Si penguntit
dan pecinta soda yang menyukai pesta. Bukankah itu aneh?
No comments:
Post a Comment