Pages

Tuesday, July 26, 2016

"Kita sudahi saja kepura-puraan ini."
Ucapnya tiba-tiba saat kami sedang berjalan.

"Kepura-puraan apa? Apasih maksud kamu?" tanyaku dengan heran.

Dia menghela napas kasar. "Kamu tahu maksudku."

"Ngga. Aku ngga tau." sanggahku

"Ayolah, kita sama-sama tahu apa itu. Kamu jangan pura-pura tak mengerti." ujarnya pasti. Membuatku semakin bingung.

Seketika sekelebat percakapan silam kembali berputar di otakku. Menghentikan langkahku.
"Maksudmu, tentang ini?" tanyaku ragu.

Dia mengangguk singkat.

Kutunggu kata-kata selanjutnya yang akan dia ucapkan. Namun yang ada hanya kesunyian. Dia lebih memilih bungkam.

"Kenapa...kenapa kita harus berhenti?" tanyaku lemah.

Jujur, aku sangat tidak menyukai ini. Keadaan dan suasana saat ini membuatku semakin membenci senja.
Ya, kami sedang berjalan bersisihan di bawah langit senja yang indah. Ah, tidak, kami sedang berjalan dibawah langit senja yang dulu nya terlihat indah.

"Karena ini hanya membuang waktuku. Dan juga tenaga" jawabnya sambil menatap sekitar. "Kita duduk disana." dia menunjuk sebuah bangku.

Kami kembali berjalan bersisihan dalam diam.

Tak ada yang bersuara. Yang ada hanya kebisingan kota sore hari.

Aku menatapnya ragu. Terlalu banyak pertanyaan yang berkelebat dikepalaku. Tapi tak ada satupun yang berhasil kukatakan. Hanya mampu menatapnya.

Namun tidak dengannya. Dia masih bisa telihat santai sambil memandang orang-orang yang berlalu lalang.

"Gema." panggilku pelan. Masih tetap menatapnya.

Dia memalingkan wajahnya dan menatapku. "Apa?"

"Kamu serius?" tanyaku sedikit ragu.

"Iya. Begini Sel, kita kayak gini itu cuma buang-buang waktu.  Gue bingung kenapa kita bisa selama ini pura-pura. Bahkan gue ngga inget kapan gue pernah setuju."

Aku memandangnya bingung.
"Oke, mungkin gue yang lupa pernah setuju. Tapi serius deh, ngga ada keuntungan nya juga kan kita begini terus?" lanjutnya lagi.

"Ada. Kamu...ngga tahu?" tanyaku pelan.

"Apa?" tanyanya penasaran.

"Bahagia. Aku bahagia, Gem." jawabku pasti. "Kamu ngga merasakannya?"

Dia menggeleng.

"Kamu yakin?"

Dia menggangguk.

"Gema. Selama ini kita jalan berdua, kamu ngga bahagia?" tanyaku heran.

Dia hanya mengangkat bahunya acuh.

Marah. Aku benar-benar kecewa.
"Kamu jahat, Gem." ucapku dengan sedikit tertahan.

"Maaf kalau gue jahat. Tapi emang selama beberapa waktu kita jalan, gue ngga ngerasain yang lo bilang tadi. Karena perasaan yang lo bilang itu bukan perasaan yang gue rasain."
Dia menatapku.
"Lo suka sama gue?" tanya nya hati-hati.

Aku menatapnya dalam dan heran. "Kamu masih mempertanyakan hal itu?"

Dia sedikit terkejut. Terlihat sekali dari perubahan raut wajahnya yang cepat.

Lalu keheningan menyelimuti kami.

Senja telah lama menghilang dari langit, berganti oleh warna yang lebih menggelap. Sunyi dan dingin.

"Sela, lo beneran suka sama gue?"
Setelah keheningan yang lama, dia akhirnya membuka suara.

Aku mengangguk tanpa mampu menatapnya.

"Tapi...gue ngga suka." ucapnya. "Maksudnya bukan berarti gue benci. Hanya yang gue rasain bukan perasaan sedalam ini."

Aku mengangguk pelan. "Iya aku tahu kok. Kamu ngga usah merasa bersalah. Tapi aku juga ngga bisa ngebuang perasaan ini. Mungkin belum bisa dalam waktu dekat, tapi suatu saat pasti bisa. Aku tahu ini cuma permainan, ngga seharusnya aku punya perasaan itu. Maaf, kamu ngga usah mikirin ini. Aku yang salah."

Dia memegang bahuku. "Maaf gue ngga bisa membalas perasaan lo. Tapi gue seneng bisa kenal dan menghabiskan waktu sama lo. Semoga lo bisa ketemu yang lebih baik dari gue. Semangat, Sel."

Dia menyemangatiku.
Menyemangati untuk melupakan nya.
Aku hanya dapat tersenyum.
Munafik jika aku berkata baik-baik saja.
Karena tak ada yang baik jika itu menyangkut soal perasaan yang tak terbalaskan.

Aku pamit untuk pulang.
Berjalan selangkah demi langkah meninggalkan nya.
Berharap setiap langkah yang kuambil adalah langkah untuk melupakannya.
Semakin jauh..
Sampai aku tak bisa memandangnya.
Dan saat jarakku sudah semakin jauh.
Saat itu pula lah aku bisa membiarkan sakit itu untuk menangis.
Berharap bisa mengurangi sesak.
Atas segala kebodohan yang terjadi.

Monday, July 25, 2016

"Hahhahaha"

Aku tertawa keras, melepaskan tawa yang sedari tadi kutahan mati-matian. Tingkah nya memang menggemaskan, hingga tak heran dia menjadi salah satu orang yang sering di jahili oleh teman-temanku.

"Oke cukup kawan. Hari ini kita sudah terlalu banyak tertawa" ujarku menyudahi tawa kami. Serentak semuanya berhenti tertawa dan hanya tersenyum geli melihat ke arahnya.

Aku berjalan mendekatinya. Kubantu dia untuk bangun dari duduknya. "Lo ngga apa-apa, kan?" tanyaku dengan lembut.

Terlalu lembut sampai dapat menutupi iblis jahat yang sedang tertawa sinis.

"Ngga. Gue ga apa." ucapnya singkat yang malah membuat iblis itu tertawa semakin keras dalam hati.

"Baguslah. Gue kira lo lebih lemah dari ini." balasku sinis. Tak mampu lagi kutahan iblis itu untuk mengambil alih otot wajahku.

Kulihat seketika raut wajahnya berubah. Terlalu kaget kah?  Entahlah, aku tak peduli.

"Lo...." ujarnya tertahan sambil mengamatiku.

Sial.
Dia memulainya lagi.

"Apa?" tanyaku datar. "Masih mempertanyakan hal yang sama?"

Dia mengangguk ragu sambil tetap memandangku penuh tanya.

"Sudahlah. Gue males ngulang hal yang sama." terangku sambil berlalu meninggalkannya. Tak lupa kuberikan sebuah tubrukan keras di bahu kirinya, sebagai ucapan selamat tinggal.

"Tunggu!" sergahnya dengan cepat.

Membuatku membalikan tubuh untuk menatapnya lagi. Sedikit terkejut dengan keberanian nya yang masih tersisa.

"Lo masih punya nyali ternyata." senyum sinis kembali kuberikan kepada nya.

"Ya, gue masih punya keberanian. Untuk sebuah kebenaran, gue ngga akan nyerah." jelasnya dengan dingin. Kepercayaan dirinya semakin terlihat.

"Oh ya? Baguslah. Jadi gue punya saingan yang kuat." jawabku dengan senyum mengejek.

"Kenapa? Kenapa lo sejahat ini?" tanya nya dengan tatapan menyelidik.

Aku memandangnya balik dengan sinis. "Lo ngga berhak tau." jawabku singkat.

Kembali kubalikan tubuhku untuk meninggalkannya. Menyusul teman-temanku yang sudah lebih dulu berhambur.

Namun langkahku terhenti lagi.

"Chels, aku minta maaf untuk kesalahanku dulu. Dan maaf yang kesekian kalinya untuk kesalahan yang sama."
Dia membalikkan tubuhku, memaksa untuk menatapnya.

"Cukup. Gue muak." ucapku singkat dan
Benci.

"Ngga. Gue gaakan lepasin lo lagi. Cukup kesalahan itu yang perlu gue sesali, gue gaakan ngulangin hal yang sama."
Dia menggenggam erat tanganku yang entah sejak kapan sudah seperti itu.

"Semua berbeda, Ga." ucapku lemah. Ya, aku terlihat sangat amat lemah jika seperti ini. Kemana iblis yang tadi tertawa keras? Tiba-tiba menghilang disaat yang tak tepat.

"Gue akan balikin perbedaan itu. Kasih gue kesempatan.." ucapnya memohon dengan tulus.

"Sorry. Gue harus pergi." Dengan kuat kulepaskan genggamannya. Namun dia lebih kuat.

"Dengerin aku. Seberapa kuat kamu menolak, sekuat itu pula aku akan menahan kamu pergi. Aku ngga akan ngulang kesalahan yang sama, aku janji dan akan berusaha pegang janji itu. Ya, aku tahu semua berbeda. Aku tahu itu. Karena ngga ada yang sama di dunia ini. Perbedaan itu bukan berarti kita harus berubah. Kita bisa ngelewatin perbedaan itu. Kita harus yakin kalau kita bisa. Cuma itu kuncinya. Keyakinan dan kepercayaan kamu." dengan sekali hembusan napas dia menuangkan semua pemikirannya.

Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam. Masih menunggu iblis jahat itu untuk kembali, karena kalau tidak, aku tak akan bisa mampu menahan nya lagi.

"Kita mulai dari awal lagi. Aku akan berusaha memperbaiki semuanya. Asal kamu mau percaya sama aku lagi, Chels."
Sekali lagi dia menggenggam tanganku lembut.

Sama seperti dulu.

Ya, dulu.

Kulepaskan tangannya pelan dengan kehati-hatian.

"Ga, dengerin aku dulu. Aku tahu emang ngga ada yang sama di dunia ini, semua pasti berubah. Kamu, aku, hubungan ini. Bahkan langitpun tak pernah sama setiap harinya. Waktu berubah, manusia berubah. Dulu memang kita bersama, berdua saling mencinta. Tapi itu dulu. Kita masih bersama, tapi tak bisa mencinta. Waktu berubah, begitu pun aku. Dan juga perasaan ini. Sesering apapun kamu minta maaf, sesering apapun kamu menyesali dulu, itu ngga akan merubah perasaan ini. Aku terlanjur kecewa. Aku benci, marah, kesal, semua beradu. Sampai aku lelah dan lebih memilih untuk bebas. Aku bahagia sekarang. Aku bisa tertawa walau terlihat jahat. Tapi aku merasa bebas. Sekarang aku masih bisa berdiri disini, didepan kamu. Aku masih bisa menjelaskan semuanya tanpa tangis. Aku kuat, Ga. Aku berusaha untuk selalu kuat. Dulu mungkin  aku terlalu lemah, tapi itu dulu." kuhembuskan napasku pelan. "Tolong, lepasin aku. Kamu masih bisa hidup tanpaku. Masih banyak yang bisa dan jauh lebih baik untuk gantiin aku. Dan aku percaya itu."

Kutatap lagi matanya untuk terakhir kalinya.

Ya, ini yang terakhir.

"Besok aku harus pergi jauh. Aku harap kamu bisa terus bahagia. Terimakasih dan maaf."

Kulambaikan tanganku dengan senyum tulus.

Bebas, sekarang aku bahagia.

Dan kuharap kaupun demikian.

Monday, July 18, 2016

Terimakasih ya Allah karena selalu menempatkan orang-orang yang baik di sekitarku. Berikanlah mereka semua kebahagiaan sebagaimana yang aku dapatkan. Aamiin 😊