"Kita sudahi saja kepura-puraan ini."
Ucapnya tiba-tiba saat kami sedang berjalan.
"Kepura-puraan apa? Apasih maksud kamu?" tanyaku dengan heran.
Dia menghela napas kasar. "Kamu tahu maksudku."
"Ngga. Aku ngga tau." sanggahku
"Ayolah, kita sama-sama tahu apa itu. Kamu jangan pura-pura tak mengerti." ujarnya pasti. Membuatku semakin bingung.
Seketika sekelebat percakapan silam kembali berputar di otakku. Menghentikan langkahku.
"Maksudmu, tentang ini?" tanyaku ragu.
Dia mengangguk singkat.
Kutunggu kata-kata selanjutnya yang akan dia ucapkan. Namun yang ada hanya kesunyian. Dia lebih memilih bungkam.
"Kenapa...kenapa kita harus berhenti?" tanyaku lemah.
Jujur, aku sangat tidak menyukai ini. Keadaan dan suasana saat ini membuatku semakin membenci senja.
Ya, kami sedang berjalan bersisihan di bawah langit senja yang indah. Ah, tidak, kami sedang berjalan dibawah langit senja yang dulu nya terlihat indah.
"Karena ini hanya membuang waktuku. Dan juga tenaga" jawabnya sambil menatap sekitar. "Kita duduk disana." dia menunjuk sebuah bangku.
Kami kembali berjalan bersisihan dalam diam.
Tak ada yang bersuara. Yang ada hanya kebisingan kota sore hari.
Aku menatapnya ragu. Terlalu banyak pertanyaan yang berkelebat dikepalaku. Tapi tak ada satupun yang berhasil kukatakan. Hanya mampu menatapnya.
Namun tidak dengannya. Dia masih bisa telihat santai sambil memandang orang-orang yang berlalu lalang.
"Gema." panggilku pelan. Masih tetap menatapnya.
Dia memalingkan wajahnya dan menatapku. "Apa?"
"Kamu serius?" tanyaku sedikit ragu.
"Iya. Begini Sel, kita kayak gini itu cuma buang-buang waktu. Gue bingung kenapa kita bisa selama ini pura-pura. Bahkan gue ngga inget kapan gue pernah setuju."
Aku memandangnya bingung.
"Oke, mungkin gue yang lupa pernah setuju. Tapi serius deh, ngga ada keuntungan nya juga kan kita begini terus?" lanjutnya lagi.
"Ada. Kamu...ngga tahu?" tanyaku pelan.
"Apa?" tanyanya penasaran.
"Bahagia. Aku bahagia, Gem." jawabku pasti. "Kamu ngga merasakannya?"
Dia menggeleng.
"Kamu yakin?"
Dia menggangguk.
"Gema. Selama ini kita jalan berdua, kamu ngga bahagia?" tanyaku heran.
Dia hanya mengangkat bahunya acuh.
Marah. Aku benar-benar kecewa.
"Kamu jahat, Gem." ucapku dengan sedikit tertahan.
"Maaf kalau gue jahat. Tapi emang selama beberapa waktu kita jalan, gue ngga ngerasain yang lo bilang tadi. Karena perasaan yang lo bilang itu bukan perasaan yang gue rasain."
Dia menatapku.
"Lo suka sama gue?" tanya nya hati-hati.
Aku menatapnya dalam dan heran. "Kamu masih mempertanyakan hal itu?"
Dia sedikit terkejut. Terlihat sekali dari perubahan raut wajahnya yang cepat.
Lalu keheningan menyelimuti kami.
Senja telah lama menghilang dari langit, berganti oleh warna yang lebih menggelap. Sunyi dan dingin.
"Sela, lo beneran suka sama gue?"
Setelah keheningan yang lama, dia akhirnya membuka suara.
Aku mengangguk tanpa mampu menatapnya.
"Tapi...gue ngga suka." ucapnya. "Maksudnya bukan berarti gue benci. Hanya yang gue rasain bukan perasaan sedalam ini."
Aku mengangguk pelan. "Iya aku tahu kok. Kamu ngga usah merasa bersalah. Tapi aku juga ngga bisa ngebuang perasaan ini. Mungkin belum bisa dalam waktu dekat, tapi suatu saat pasti bisa. Aku tahu ini cuma permainan, ngga seharusnya aku punya perasaan itu. Maaf, kamu ngga usah mikirin ini. Aku yang salah."
Dia memegang bahuku. "Maaf gue ngga bisa membalas perasaan lo. Tapi gue seneng bisa kenal dan menghabiskan waktu sama lo. Semoga lo bisa ketemu yang lebih baik dari gue. Semangat, Sel."
Dia menyemangatiku.
Menyemangati untuk melupakan nya.
Aku hanya dapat tersenyum.
Munafik jika aku berkata baik-baik saja.
Karena tak ada yang baik jika itu menyangkut soal perasaan yang tak terbalaskan.
Aku pamit untuk pulang.
Berjalan selangkah demi langkah meninggalkan nya.
Berharap setiap langkah yang kuambil adalah langkah untuk melupakannya.
Semakin jauh..
Sampai aku tak bisa memandangnya.
Dan saat jarakku sudah semakin jauh.
Saat itu pula lah aku bisa membiarkan sakit itu untuk menangis.
Berharap bisa mengurangi sesak.
Atas segala kebodohan yang terjadi.
No comments:
Post a Comment