Pages

Thursday, February 19, 2015

Pram dan Ellen, Iseng story.

"Katakan aku harus bagaimana sekarang?" Ellen menatap sosok  laki-laki di depannya.
"Tidak ada. Tentu saja tidak ada." Laki-laki berbadan tegap itu mengalihkan pandangannya menjauhi mata indah itu. Keputusannya sudah bulat, ia sudah memikirkannya dari kemarin.
"Tapi..aku tidak bisa, Pram. Dan aku tidak mau tentu saja!" perempuan itu menggelengkan kepalanya, menutup erat matanya agar tak ada butiran bening yang terjatuh dari situ.
"Ayolah, kita bukan anak kecil lagi. Kita selesaikan dengan cara dewasa. Mungkin memang seharusnya kita berhenti sekarang." Lelaki itu membalikan tubuhnya, satu langkah, dua langkah, lalu berbalik. "Maafkan aku. Berbahagialah."
Selanjutnya sosok laki-laki itu semakin menghilang, tergantikan oleh isakan tangis seorang perempuan. Ya, pada akhirnya pertahanan itu goyah, perempuan itu menangis. Sendirian disana, benar-benar sendirian.

Dua tahun 6 bulan bukanlah waktu yang sebentar . Bagaimana bisa semua kenangan yang sudah mereka lalui bisa tergantikan oleh jarak? Ellen masih mengingat bagaimana pertemuan pertama mereka, saat-saat dimana anak-anak yang lain sedang sibuk memikirkan ujian kelulusan. Secara tidak disengaja, Ellen dan Pram bertemu di sebuah toko buku. Kedua nya sama-sama sedang berburu buku soal untuk persiapan ujian. Kalau saja bukan karena pegawai disana yang membuat keduanya menunggu, mungkin mereka tidak akan saling mengenal dan dekat seperti sekarang. Setelah saling bertukar nomor telepon hari itu, mereka jadi semakin dekat. Hingga 2 bulan kemudian, Pram menyatakan perasaannya yang diterima dengan baik pula oleh Ellen. 

Selama kurun waktu dua tahun 6 bulan, hubungan mereka tidak benar-benar berjalan mulus, kadangkala kata "putus" sering terdengar beberapa kali. Entah itu  dari Ellen maupun Pram. Tapi walaupun begitu, esoknya mereka akan meminta maaf dan memulai semuanya kembali. Namun saat ini, Ellen yakin betul kisahnya tidak akan kembali berlanjut, alasan Pram untuk mengakhiri hubungan mereka bukanlah alasan yang kekanak-kanakan. Pram memutuskan untuk mengakhirinya karena dia akan melanjutkan studinya di luar negri sampai lulus S2, itu berarti dia akan menghabiskan waktu kurang lebih 6 tahun. Belum lagi jika dia diterima di salah satu perusahaan disana, maka kemungkinan dia menetap akan lebih besar. 

Sebenarnya mereka bisa saja menjalani hubungan jarak jauh, namun Pram sangat mengenal Ellen. Perempuan itu sangat membenci hubungan seperti itu. Ellen akan beribu kali lipat cemburu kepada Pram. Pernah sekali Pram berlibur ke Bali selama dua minggu. Ellen yang tidak menyukai berjauhan selalu saja curiga jika Pram bermain dengan perempuan lain disana. Kata putus pernah terucap oleh Ellen saat itu, tapi setelah Pram kembali dan bertemu Ellen, kata putus seakan tak pernah terlontar. Mereka kembali seperti biasa.

Keputusan Pram kali ini, memang benar yang terakhir. Setelah malam itu, bagaikan mengalami amnesia, Pram dan Ellen tidak pernah saling berhubungan kembali. Sekedar menyapai hai lewat media sosial yang sedang populer saja tidak mereka lakukan. Ellen menerima keputusan Pram, walau berat di awal, namun dia mampu. Begitu pula Pram yang sudah semakin disibukkan dengan kegiatan kuliahnya.

Beberapa kali Ellen mencoba membuka hati untuk laki-laki lain, tapi semua selalu berakhir sama. Mereka tidak tahan dengan sifat pencemburu Ellen, mereka tidak seperti Pram yang dengan sabar menanganinya. Laki-laki itu pada akhirnya muak dan menyerah. Selalu begitu dalam kurun waktu 4 tahun lamanya.

Kadangkala, rindu akan kenangan dulu sering di rasakan oleh Ellen. Dorongan yang sangat kuat untuk menghubungi Pram juga semakin menguat. Tetapi lagi-lagi dia mengingat janji yang telah dibuatnya, janji untuk tidak berurusan lagi dengan Pram. Dia harus menatap kedepan. Tidak ada lagi kenangan itu. Tidak ada lagi yang bernama Pram. Hanya janji itu yang bisa membuat Ellen sadar dari keinginannya. Keinginan untuk memeluk Pram. Tetapi janji tinggalah janji. Ellen sering menginkari janji itu dan menangis.

Suatu pagi, Ellen bangun dengan perasaan gelisah luar biasa. Dia sudah menghubungi keluarga nya untuk memastikan keadaan mereka, dan mereka mengatakan tak ada masalah. Walau mereka baik-baik saja, hati Ellen masih di lingkupi kegelisahan. Dia merasakan perasaan yang tidak baik, seperti ada sesuatu yang salah. Dan ternyata kegelisahan itu memang benar-benar terjadi. Siang nya, Ellen menerima sebuah e-mail dari seseorang yang sangat dikenalnya. Laki-laki itu mengirimkan sebuah dokumen, seperti sebuah surat dan beberapa foto. Setetes air mata jatuh di pipi Ellen. Laki-laki itu kini sudah bahagia. Ya, benar-benar bahagia. Terbukti dengan ceria nya senyum yang tergambar dalam foto yang dikirimnya, dan juga surat yang menegaskan kebahagiaan itu. Ellen menutup laptop nya dan memandang ke arah jendela. Membiarkan butiran bening itu terus mengalir, merasakan kesedihan ikut turun bersama butiran itu. Setelah beberapa menit Ellen menangis dalam diam, wanita itu tersenyum. Dan untuk pertama kalinya, Ellen benar-benar meyakini bahwa kenangan antara dia dan laki-laki itu memang sudah benar-benar mati. Terkubur bersama surat dan foto pernikahan Pram bersama Alice, istri tercinta nya.

No comments:

Post a Comment