Dia mulai merasa bosan dengan kehidupannya. Rasanya seperti ingin melakukan gebrakan baru dalam hidupnya, seperti kenakalan yang pernah di lakukannya dulu. Ah, kenakalan itu. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk menikmati kehidupannya yang kelam dulu. Namun setelah perubahan besar itu, kenakalan yang dulu terasa tak menarik lagi. Dia memutuskan untuk menarik diri dari lingkungan sekitarnya. Dan lebih memilih untuk berdiam diri menikmati sisa waktunya. Tetapi nyata nya kehidupan itu lebih membosankan untuk dijalani. Dia kehilangan segalanya. Kehidupan yang dijalaninya membuat dia harus menelan kepahitan tentang kesendirian. Karena kehidupan itu benar-benar membuatnya sendirian.
Dia memang masih tertawa akan hal kecil di sekitarnya, namun itu tak berarti lama. Hanya sesaat lalu menghilang. Tawanya terbang melewati celah-celah yang ada dalam dirinya. Dan lagi-lagi dia merasa sendirian. Untuk waktu yang lama, dia tak pernah merasa seperti diperlukan lagi.
Dia telah berubah lagi untuk kesekian kalinya. Rasa sakit dan kehilangan yang pernah dirasakannya membuat dia lebih kuat dari sebelumnya. Dia lebih belajar banyak mengenai hidup dari rasa sakit itu, dan dia lebih banyak belajar tentang keikhlasan dengan adanya kehilangan. Semua nya yang pernah terjadi di hidupnya adalah hal-hal yang membuatnya terkagum akan kehidupan. Membuat dia berubah untuk lebih memaknai hidup.
Seseorang pernah mengatakan bahwa, kau tidak bisa di sebut hidup jika menutup mata dan telinga dari sekitar. Kau tidak pernah benar-benar hidup jika menutup diri dari lingkunganmu, kau hanya sekadar bernafas. Karena sesungguhnya kehidupan adalah tentang sebuah interaksi. Antar apapun itu.
Tuesday, September 13, 2016
Friday, September 9, 2016
Cinta
Monday, September 5, 2016
Emang kadang hidup bisa selucu itu.
Kita yang tadinya tak saling mengenal kini menjadi yang paling dekat.
Kita yang tadinya paling dekat kini menjadi tak kenal.
Bukan, ini bukan salahmu.
Bukan salahku.
Bukan pula salah keadaan.
Apalagi waktu yang selalu menjadi kambing hitam untuk disalahkan.
Ini adalah hal yang wajar.
Siklus kehidupan yang selalu dialami manusia.
Perubahan-perubahan itulah yang membuat kita meyakini satu hal, bahwa tidak ada yang benar-benar abadi bertahan selamanya.
Bahkan keyakinan pun terkadang goyah.
Janji pun bisa di ingkari.
Peraturan bisa di langgar.
Dan hal sebagainya.
Termasuk kita.
Saturday, September 3, 2016
Aku masih memandanginya dari jarak yang tak berubah. Tetap dengan tatapan yang sama.
"Kamu masih mau disini?" ujar temanmu, sepertinya.
Kau mengangguk dengan senyum.
Temanmu tersenyum sambil berlalu. Selanjutnya kau membalikkan badanmu, dan berjalan mendekat.
"Gimana rasanya?" tanyaku ingin tahu.
"Rasanya apa?"
"Berkomunikasi kembali dengan seseorang yang pernah menyakitimu."
"Biasa aja." ujarnya acuh
"Yakin? Kok kayaknya rada kesal gitu?"
Bisa kulihat rautnya berubah menjadi kesal akibat guyonanku.
"Apaan sih? Orang biasa aja."
"Hahahha kamu lucu ya."
"Baru sadar kamu? Aku kan dari dulu memang lucu."
"Ya ya yaa" ucapku malas.
"Kita cuma duduk disini aja?"
"Hmm" aku mengangguk.
"Tau gini mending duduk dirumah aja." katanya sebal.
"Ya sudah, kamu pulang aja."
"Benar ya aku pulang. Kamu jangan nyesel terus marah-marah."
Aku mengangguk yakin. "Iya"
Dia lalu beranjak pergi.
Benar-benar pergi.
Dan setelahnya kami tak lagi bertemu.
Friday, September 2, 2016
Dengan penuh keyakinan satu persatu mereka berjalan kearah pintu itu. Satu-satunya pintu yang terbuka. Suasana ramai tadi seketika menghilang, berganti menjadi hening yang cukup menyayat. Aku terpaku disudut, memandang kosong ke depan. Pintu itu perlahan menutup saat orang terakhir berjalan melaluinya. Saat pintu itu benar-benar tertutup rapat, aku baru menyadari, bahwa kini aku benar-benar sendiri.
Kuhembuskan napas berat, lalu berjalan memasuki ruangan yang lebih dalam. Sampai di ujung jalan, tepat dimana aku menemukan pintu yang lain. Kubuka perlahan sambil tetap memandang kebawah. Merasa lelah setelah seharian tertawa. Dan disinilah aku berada, ditempat yang lebih hening dibanding tempat sebelumnya. Kurapatkan punggungku disalah satu sisi, lalu terduduk dengan lemah. Tak ada yang kulakukan, hanya memandang sisi lainnya tanpa ketertarikan. Sekedar menghabiskan waktu. Entah kenapa aku melakukannya. Aku hanya menyukainya.
Lalu waktu berganti. Aku berjalan kearah pintu, tetapi ragu untuk membukanya. Kuurungkan niatku lalu berjalan menjauhi. Sebentar kemudian aku kembali menghampirinya. Ku kuatkan diriku untuk membuka pintu itu. Dan setelah berkali-kali meyakinkan, berdirilah aku diluar ruangan itu. Seketika aku di buat bingung, kenapa aku keluar? Padahal aku merasa aman diruangan itu.
Ting...Tong...
Kudengar suara bell dari arah pintu utama. Membawaku berjalan kearah pintu itu. Tanganku perlahan menyentuh knop pintu, hanya menyentuh tanpa menggerakannya.
Ting...Tong...
Masih, aku hanya terdiam.
Ting...Tong...
Sayup kudengar suara seseorang di balik pintu. Membuat hatiku penasaran untuk melihatnya. Namun tidak dengan diriku, yang masih terdiam memandang lurus.
Ting...Tong...
Kubuka sedikit pintu itu untuk melihat siapa yang berada di baliknya. Saat pintu itu terbuka sedikit, kurasakan hawa lain. Hawa itu seperti pernah kurasakan, walau samar-samar tetapi aku masih mengingat rasanya. Saat hawa itu semakin menjalar, kurasakan pintu terdorong pelan. Membuat aku mundur perlahan.
Pintu itu hanya setengah terbuka. Tapi aku bisa melihat sosoknya. Dia berdiri dengan tangan menyentuh knop pintu disisi satunya.
"Permisi" ucapnya dengan senyum.
Aku menatapnya diam.
"Saya baru di lingkungan ini. Saya harus menghubungi seseorang tetapi kesulitan untuk menemukan telepon umum. Kira-kira anda tahu dimana saya bisa menemukan telepon umum?" tanya nya penuh harap.
Telepon umum? Kurasa kata itu sudah hampir bertahun-tahun lamanya tak kudengar.
"Ah iya, maafkan saya langsung bertanya tanpa memperkenalkan diri. Saya..."
"Disini tidak ada telepon umum." jawabku cepat.
Dia tidak melanjutkan kalimatnya dan hanya mengangguk bingung.
"A-ah begitu ya." Dia diam sejenak. "Kalau begitu, saya pamit dulu. Terimakasih untuk waktunya dan maaf jika saya mengganggu."
Dia tersenyum lagi. Lalu berbalik arah, berjalan menjauhi pintu.
Aku memandang punggungnya yang semakin jauh. Sosoknya benar-benar menghilang, bersamaan dengan hawa tadi.