Saat malam datang, saat itu pula aku menyadari. Hari itu terlalu banyak ketidakberuntungan yang terjadi.
Apa manusia sepertiku tak bisa mendapatkan kesempatan yang sama dalam harapan?
Apa manusia sepertiku memiliki kesempatan yang lebih kecil dibandingkan manusia yang lebih tinggi tingkatannya?
Apa kami, manusia yang sepertiku, tidak akan pernah mendapatkan kesempatan yang sama untuk merasakan rasanya dicintai?
Apa manusia seperti kami, hanya mampu memandang dari kejauhan dan menelan kekecewaan? Dan terus begitu sampai kami lelah berharap?
Kenapa kami tak bisa mendapatkan kesempatan yang sama untuk sebuah cinta? Kenapa harus kami yang lagi-lagi menyerah untuk hati yang lain?
Memang manusia seperti kami, terlalu jauh untuk harapan itu?
Saturday, October 8, 2016
Malam.
Tuesday, September 13, 2016
Dia mulai merasa bosan dengan kehidupannya. Rasanya seperti ingin melakukan gebrakan baru dalam hidupnya, seperti kenakalan yang pernah di lakukannya dulu. Ah, kenakalan itu. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk menikmati kehidupannya yang kelam dulu. Namun setelah perubahan besar itu, kenakalan yang dulu terasa tak menarik lagi. Dia memutuskan untuk menarik diri dari lingkungan sekitarnya. Dan lebih memilih untuk berdiam diri menikmati sisa waktunya. Tetapi nyata nya kehidupan itu lebih membosankan untuk dijalani. Dia kehilangan segalanya. Kehidupan yang dijalaninya membuat dia harus menelan kepahitan tentang kesendirian. Karena kehidupan itu benar-benar membuatnya sendirian.
Dia memang masih tertawa akan hal kecil di sekitarnya, namun itu tak berarti lama. Hanya sesaat lalu menghilang. Tawanya terbang melewati celah-celah yang ada dalam dirinya. Dan lagi-lagi dia merasa sendirian. Untuk waktu yang lama, dia tak pernah merasa seperti diperlukan lagi.
Dia telah berubah lagi untuk kesekian kalinya. Rasa sakit dan kehilangan yang pernah dirasakannya membuat dia lebih kuat dari sebelumnya. Dia lebih belajar banyak mengenai hidup dari rasa sakit itu, dan dia lebih banyak belajar tentang keikhlasan dengan adanya kehilangan. Semua nya yang pernah terjadi di hidupnya adalah hal-hal yang membuatnya terkagum akan kehidupan. Membuat dia berubah untuk lebih memaknai hidup.
Seseorang pernah mengatakan bahwa, kau tidak bisa di sebut hidup jika menutup mata dan telinga dari sekitar. Kau tidak pernah benar-benar hidup jika menutup diri dari lingkunganmu, kau hanya sekadar bernafas. Karena sesungguhnya kehidupan adalah tentang sebuah interaksi. Antar apapun itu.
Friday, September 9, 2016
Cinta
Monday, September 5, 2016
Emang kadang hidup bisa selucu itu.
Kita yang tadinya tak saling mengenal kini menjadi yang paling dekat.
Kita yang tadinya paling dekat kini menjadi tak kenal.
Bukan, ini bukan salahmu.
Bukan salahku.
Bukan pula salah keadaan.
Apalagi waktu yang selalu menjadi kambing hitam untuk disalahkan.
Ini adalah hal yang wajar.
Siklus kehidupan yang selalu dialami manusia.
Perubahan-perubahan itulah yang membuat kita meyakini satu hal, bahwa tidak ada yang benar-benar abadi bertahan selamanya.
Bahkan keyakinan pun terkadang goyah.
Janji pun bisa di ingkari.
Peraturan bisa di langgar.
Dan hal sebagainya.
Termasuk kita.
Saturday, September 3, 2016
Aku masih memandanginya dari jarak yang tak berubah. Tetap dengan tatapan yang sama.
"Kamu masih mau disini?" ujar temanmu, sepertinya.
Kau mengangguk dengan senyum.
Temanmu tersenyum sambil berlalu. Selanjutnya kau membalikkan badanmu, dan berjalan mendekat.
"Gimana rasanya?" tanyaku ingin tahu.
"Rasanya apa?"
"Berkomunikasi kembali dengan seseorang yang pernah menyakitimu."
"Biasa aja." ujarnya acuh
"Yakin? Kok kayaknya rada kesal gitu?"
Bisa kulihat rautnya berubah menjadi kesal akibat guyonanku.
"Apaan sih? Orang biasa aja."
"Hahahha kamu lucu ya."
"Baru sadar kamu? Aku kan dari dulu memang lucu."
"Ya ya yaa" ucapku malas.
"Kita cuma duduk disini aja?"
"Hmm" aku mengangguk.
"Tau gini mending duduk dirumah aja." katanya sebal.
"Ya sudah, kamu pulang aja."
"Benar ya aku pulang. Kamu jangan nyesel terus marah-marah."
Aku mengangguk yakin. "Iya"
Dia lalu beranjak pergi.
Benar-benar pergi.
Dan setelahnya kami tak lagi bertemu.
Friday, September 2, 2016
Dengan penuh keyakinan satu persatu mereka berjalan kearah pintu itu. Satu-satunya pintu yang terbuka. Suasana ramai tadi seketika menghilang, berganti menjadi hening yang cukup menyayat. Aku terpaku disudut, memandang kosong ke depan. Pintu itu perlahan menutup saat orang terakhir berjalan melaluinya. Saat pintu itu benar-benar tertutup rapat, aku baru menyadari, bahwa kini aku benar-benar sendiri.
Kuhembuskan napas berat, lalu berjalan memasuki ruangan yang lebih dalam. Sampai di ujung jalan, tepat dimana aku menemukan pintu yang lain. Kubuka perlahan sambil tetap memandang kebawah. Merasa lelah setelah seharian tertawa. Dan disinilah aku berada, ditempat yang lebih hening dibanding tempat sebelumnya. Kurapatkan punggungku disalah satu sisi, lalu terduduk dengan lemah. Tak ada yang kulakukan, hanya memandang sisi lainnya tanpa ketertarikan. Sekedar menghabiskan waktu. Entah kenapa aku melakukannya. Aku hanya menyukainya.
Lalu waktu berganti. Aku berjalan kearah pintu, tetapi ragu untuk membukanya. Kuurungkan niatku lalu berjalan menjauhi. Sebentar kemudian aku kembali menghampirinya. Ku kuatkan diriku untuk membuka pintu itu. Dan setelah berkali-kali meyakinkan, berdirilah aku diluar ruangan itu. Seketika aku di buat bingung, kenapa aku keluar? Padahal aku merasa aman diruangan itu.
Ting...Tong...
Kudengar suara bell dari arah pintu utama. Membawaku berjalan kearah pintu itu. Tanganku perlahan menyentuh knop pintu, hanya menyentuh tanpa menggerakannya.
Ting...Tong...
Masih, aku hanya terdiam.
Ting...Tong...
Sayup kudengar suara seseorang di balik pintu. Membuat hatiku penasaran untuk melihatnya. Namun tidak dengan diriku, yang masih terdiam memandang lurus.
Ting...Tong...
Kubuka sedikit pintu itu untuk melihat siapa yang berada di baliknya. Saat pintu itu terbuka sedikit, kurasakan hawa lain. Hawa itu seperti pernah kurasakan, walau samar-samar tetapi aku masih mengingat rasanya. Saat hawa itu semakin menjalar, kurasakan pintu terdorong pelan. Membuat aku mundur perlahan.
Pintu itu hanya setengah terbuka. Tapi aku bisa melihat sosoknya. Dia berdiri dengan tangan menyentuh knop pintu disisi satunya.
"Permisi" ucapnya dengan senyum.
Aku menatapnya diam.
"Saya baru di lingkungan ini. Saya harus menghubungi seseorang tetapi kesulitan untuk menemukan telepon umum. Kira-kira anda tahu dimana saya bisa menemukan telepon umum?" tanya nya penuh harap.
Telepon umum? Kurasa kata itu sudah hampir bertahun-tahun lamanya tak kudengar.
"Ah iya, maafkan saya langsung bertanya tanpa memperkenalkan diri. Saya..."
"Disini tidak ada telepon umum." jawabku cepat.
Dia tidak melanjutkan kalimatnya dan hanya mengangguk bingung.
"A-ah begitu ya." Dia diam sejenak. "Kalau begitu, saya pamit dulu. Terimakasih untuk waktunya dan maaf jika saya mengganggu."
Dia tersenyum lagi. Lalu berbalik arah, berjalan menjauhi pintu.
Aku memandang punggungnya yang semakin jauh. Sosoknya benar-benar menghilang, bersamaan dengan hawa tadi.
Wednesday, August 31, 2016
Andai waktu tak tergesa untuk menentukan pilihannya, mungkin akhirnya tak akan seperti ini. Aku terlalu cepat memilih. Dan saat pilihan itu ditetapkan, aku menyadari hal lainnya. Bahwa semua itu hanyalah ketertarikan semata. Bukan suatu hal yang tulus yang harus ku jaga. Andai waktu tak tergesa untuk memilih, mungkin kisah itu akan lebih lama untuk bertahan.
Untukmu yang pernah mengisi hari-hari. Terimakasih :)
Tuesday, July 26, 2016
"Kita sudahi saja kepura-puraan ini."
Ucapnya tiba-tiba saat kami sedang berjalan.
"Kepura-puraan apa? Apasih maksud kamu?" tanyaku dengan heran.
Dia menghela napas kasar. "Kamu tahu maksudku."
"Ngga. Aku ngga tau." sanggahku
"Ayolah, kita sama-sama tahu apa itu. Kamu jangan pura-pura tak mengerti." ujarnya pasti. Membuatku semakin bingung.
Seketika sekelebat percakapan silam kembali berputar di otakku. Menghentikan langkahku.
"Maksudmu, tentang ini?" tanyaku ragu.
Dia mengangguk singkat.
Kutunggu kata-kata selanjutnya yang akan dia ucapkan. Namun yang ada hanya kesunyian. Dia lebih memilih bungkam.
"Kenapa...kenapa kita harus berhenti?" tanyaku lemah.
Jujur, aku sangat tidak menyukai ini. Keadaan dan suasana saat ini membuatku semakin membenci senja.
Ya, kami sedang berjalan bersisihan di bawah langit senja yang indah. Ah, tidak, kami sedang berjalan dibawah langit senja yang dulu nya terlihat indah.
"Karena ini hanya membuang waktuku. Dan juga tenaga" jawabnya sambil menatap sekitar. "Kita duduk disana." dia menunjuk sebuah bangku.
Kami kembali berjalan bersisihan dalam diam.
Tak ada yang bersuara. Yang ada hanya kebisingan kota sore hari.
Aku menatapnya ragu. Terlalu banyak pertanyaan yang berkelebat dikepalaku. Tapi tak ada satupun yang berhasil kukatakan. Hanya mampu menatapnya.
Namun tidak dengannya. Dia masih bisa telihat santai sambil memandang orang-orang yang berlalu lalang.
"Gema." panggilku pelan. Masih tetap menatapnya.
Dia memalingkan wajahnya dan menatapku. "Apa?"
"Kamu serius?" tanyaku sedikit ragu.
"Iya. Begini Sel, kita kayak gini itu cuma buang-buang waktu. Gue bingung kenapa kita bisa selama ini pura-pura. Bahkan gue ngga inget kapan gue pernah setuju."
Aku memandangnya bingung.
"Oke, mungkin gue yang lupa pernah setuju. Tapi serius deh, ngga ada keuntungan nya juga kan kita begini terus?" lanjutnya lagi.
"Ada. Kamu...ngga tahu?" tanyaku pelan.
"Apa?" tanyanya penasaran.
"Bahagia. Aku bahagia, Gem." jawabku pasti. "Kamu ngga merasakannya?"
Dia menggeleng.
"Kamu yakin?"
Dia menggangguk.
"Gema. Selama ini kita jalan berdua, kamu ngga bahagia?" tanyaku heran.
Dia hanya mengangkat bahunya acuh.
Marah. Aku benar-benar kecewa.
"Kamu jahat, Gem." ucapku dengan sedikit tertahan.
"Maaf kalau gue jahat. Tapi emang selama beberapa waktu kita jalan, gue ngga ngerasain yang lo bilang tadi. Karena perasaan yang lo bilang itu bukan perasaan yang gue rasain."
Dia menatapku.
"Lo suka sama gue?" tanya nya hati-hati.
Aku menatapnya dalam dan heran. "Kamu masih mempertanyakan hal itu?"
Dia sedikit terkejut. Terlihat sekali dari perubahan raut wajahnya yang cepat.
Lalu keheningan menyelimuti kami.
Senja telah lama menghilang dari langit, berganti oleh warna yang lebih menggelap. Sunyi dan dingin.
"Sela, lo beneran suka sama gue?"
Setelah keheningan yang lama, dia akhirnya membuka suara.
Aku mengangguk tanpa mampu menatapnya.
"Tapi...gue ngga suka." ucapnya. "Maksudnya bukan berarti gue benci. Hanya yang gue rasain bukan perasaan sedalam ini."
Aku mengangguk pelan. "Iya aku tahu kok. Kamu ngga usah merasa bersalah. Tapi aku juga ngga bisa ngebuang perasaan ini. Mungkin belum bisa dalam waktu dekat, tapi suatu saat pasti bisa. Aku tahu ini cuma permainan, ngga seharusnya aku punya perasaan itu. Maaf, kamu ngga usah mikirin ini. Aku yang salah."
Dia memegang bahuku. "Maaf gue ngga bisa membalas perasaan lo. Tapi gue seneng bisa kenal dan menghabiskan waktu sama lo. Semoga lo bisa ketemu yang lebih baik dari gue. Semangat, Sel."
Dia menyemangatiku.
Menyemangati untuk melupakan nya.
Aku hanya dapat tersenyum.
Munafik jika aku berkata baik-baik saja.
Karena tak ada yang baik jika itu menyangkut soal perasaan yang tak terbalaskan.
Aku pamit untuk pulang.
Berjalan selangkah demi langkah meninggalkan nya.
Berharap setiap langkah yang kuambil adalah langkah untuk melupakannya.
Semakin jauh..
Sampai aku tak bisa memandangnya.
Dan saat jarakku sudah semakin jauh.
Saat itu pula lah aku bisa membiarkan sakit itu untuk menangis.
Berharap bisa mengurangi sesak.
Atas segala kebodohan yang terjadi.
Monday, July 25, 2016
"Hahhahaha"
Aku tertawa keras, melepaskan tawa yang sedari tadi kutahan mati-matian. Tingkah nya memang menggemaskan, hingga tak heran dia menjadi salah satu orang yang sering di jahili oleh teman-temanku.
"Oke cukup kawan. Hari ini kita sudah terlalu banyak tertawa" ujarku menyudahi tawa kami. Serentak semuanya berhenti tertawa dan hanya tersenyum geli melihat ke arahnya.
Aku berjalan mendekatinya. Kubantu dia untuk bangun dari duduknya. "Lo ngga apa-apa, kan?" tanyaku dengan lembut.
Terlalu lembut sampai dapat menutupi iblis jahat yang sedang tertawa sinis.
"Ngga. Gue ga apa." ucapnya singkat yang malah membuat iblis itu tertawa semakin keras dalam hati.
"Baguslah. Gue kira lo lebih lemah dari ini." balasku sinis. Tak mampu lagi kutahan iblis itu untuk mengambil alih otot wajahku.
Kulihat seketika raut wajahnya berubah. Terlalu kaget kah? Entahlah, aku tak peduli.
"Lo...." ujarnya tertahan sambil mengamatiku.
Sial.
Dia memulainya lagi.
"Apa?" tanyaku datar. "Masih mempertanyakan hal yang sama?"
Dia mengangguk ragu sambil tetap memandangku penuh tanya.
"Sudahlah. Gue males ngulang hal yang sama." terangku sambil berlalu meninggalkannya. Tak lupa kuberikan sebuah tubrukan keras di bahu kirinya, sebagai ucapan selamat tinggal.
"Tunggu!" sergahnya dengan cepat.
Membuatku membalikan tubuh untuk menatapnya lagi. Sedikit terkejut dengan keberanian nya yang masih tersisa.
"Lo masih punya nyali ternyata." senyum sinis kembali kuberikan kepada nya.
"Ya, gue masih punya keberanian. Untuk sebuah kebenaran, gue ngga akan nyerah." jelasnya dengan dingin. Kepercayaan dirinya semakin terlihat.
"Oh ya? Baguslah. Jadi gue punya saingan yang kuat." jawabku dengan senyum mengejek.
"Kenapa? Kenapa lo sejahat ini?" tanya nya dengan tatapan menyelidik.
Aku memandangnya balik dengan sinis. "Lo ngga berhak tau." jawabku singkat.
Kembali kubalikan tubuhku untuk meninggalkannya. Menyusul teman-temanku yang sudah lebih dulu berhambur.
Namun langkahku terhenti lagi.
"Chels, aku minta maaf untuk kesalahanku dulu. Dan maaf yang kesekian kalinya untuk kesalahan yang sama."
Dia membalikkan tubuhku, memaksa untuk menatapnya.
"Cukup. Gue muak." ucapku singkat dan
Benci.
"Ngga. Gue gaakan lepasin lo lagi. Cukup kesalahan itu yang perlu gue sesali, gue gaakan ngulangin hal yang sama."
Dia menggenggam erat tanganku yang entah sejak kapan sudah seperti itu.
"Semua berbeda, Ga." ucapku lemah. Ya, aku terlihat sangat amat lemah jika seperti ini. Kemana iblis yang tadi tertawa keras? Tiba-tiba menghilang disaat yang tak tepat.
"Gue akan balikin perbedaan itu. Kasih gue kesempatan.." ucapnya memohon dengan tulus.
"Sorry. Gue harus pergi." Dengan kuat kulepaskan genggamannya. Namun dia lebih kuat.
"Dengerin aku. Seberapa kuat kamu menolak, sekuat itu pula aku akan menahan kamu pergi. Aku ngga akan ngulang kesalahan yang sama, aku janji dan akan berusaha pegang janji itu. Ya, aku tahu semua berbeda. Aku tahu itu. Karena ngga ada yang sama di dunia ini. Perbedaan itu bukan berarti kita harus berubah. Kita bisa ngelewatin perbedaan itu. Kita harus yakin kalau kita bisa. Cuma itu kuncinya. Keyakinan dan kepercayaan kamu." dengan sekali hembusan napas dia menuangkan semua pemikirannya.
Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam. Masih menunggu iblis jahat itu untuk kembali, karena kalau tidak, aku tak akan bisa mampu menahan nya lagi.
"Kita mulai dari awal lagi. Aku akan berusaha memperbaiki semuanya. Asal kamu mau percaya sama aku lagi, Chels."
Sekali lagi dia menggenggam tanganku lembut.
Sama seperti dulu.
Ya, dulu.
Kulepaskan tangannya pelan dengan kehati-hatian.
"Ga, dengerin aku dulu. Aku tahu emang ngga ada yang sama di dunia ini, semua pasti berubah. Kamu, aku, hubungan ini. Bahkan langitpun tak pernah sama setiap harinya. Waktu berubah, manusia berubah. Dulu memang kita bersama, berdua saling mencinta. Tapi itu dulu. Kita masih bersama, tapi tak bisa mencinta. Waktu berubah, begitu pun aku. Dan juga perasaan ini. Sesering apapun kamu minta maaf, sesering apapun kamu menyesali dulu, itu ngga akan merubah perasaan ini. Aku terlanjur kecewa. Aku benci, marah, kesal, semua beradu. Sampai aku lelah dan lebih memilih untuk bebas. Aku bahagia sekarang. Aku bisa tertawa walau terlihat jahat. Tapi aku merasa bebas. Sekarang aku masih bisa berdiri disini, didepan kamu. Aku masih bisa menjelaskan semuanya tanpa tangis. Aku kuat, Ga. Aku berusaha untuk selalu kuat. Dulu mungkin aku terlalu lemah, tapi itu dulu." kuhembuskan napasku pelan. "Tolong, lepasin aku. Kamu masih bisa hidup tanpaku. Masih banyak yang bisa dan jauh lebih baik untuk gantiin aku. Dan aku percaya itu."
Kutatap lagi matanya untuk terakhir kalinya.
Ya, ini yang terakhir.
"Besok aku harus pergi jauh. Aku harap kamu bisa terus bahagia. Terimakasih dan maaf."
Kulambaikan tanganku dengan senyum tulus.
Bebas, sekarang aku bahagia.
Dan kuharap kaupun demikian.
Monday, July 18, 2016
Wednesday, April 6, 2016
Salah
Lagi-lagi rasa itu salah melabuhkan dirinya.
Untuk kesekian kalinya rasa itu sendirian.
Untuk kesekian kalinya rasa itu harus terluka.
Untuk kesekian kalinya rasa itu harus kembali, pulang membawa kehampaan.
Saturday, February 27, 2016
Monday, February 22, 2016
Tuesday, January 12, 2016
Hilangnya ingatanku.
Heyhooo, hari ini tiba-tiba dapet pencerahan buat nulis cerita yang ngga mungkin banget bisa di sebut cerita. Entahlah cerita ini nyita perhatian banget hari ini. Minta buat diselesaiin. Padahal kan ga punya kemampuan buat bikin cerita:') akhirnya ya begini jadinya, dipaksa-paksa selese:') kebanyakan basa basi. Sok baca aja:')
Pernahkah kau mendengar cerita tentang seseorang yang hanya mampu mengingat selama 24jam?
Aku hanyalah perempuan biasa seperti kebanyakan perempuan lainnya, jika dilihat sekilas. Namun mungkin tak ada yang mengetahui apa yang membuat diriku berbeda dengan yang lain. Kehidupan ini sudah hampir 2 tahun kujalani semenjak kecelakaan yang membuat perubahan besar pada diriku. Penyakit yang membuat sebagian orang menggeleng tak percaya. Bagaimana mungkin seseorang mengalami amnesia setiap harinya? Melupakan apa yang sudah terjadi hanya karena tertidur. Ini benar-benar gila.
Hal yang kurasakan ketika bangun tidur adalah aku seorang perempuan yang beranjak dewasa. Selebihnya aku tak tahu. Aku tak mengenal siapa diriku. Aku tak ingat apapun yang pernah kulakukan, bahkan aku tak yakin pernah hidup kemarin.
"Hari ini adalah hari yang baru. Tak perlu memikirkan apa dan kenapa semuanya terjadi, yang terpenting adalah aku harus tetap bertahan hidup"
Tulisan itulah yang kubaca saat terbangun. Seperti bayi yang baru terlahir, aku tak mengenal siapapun termasuk diriku sendiri. Tapi aku seperti sudah terbiasa dengan kehidupan ini. Rasanya aku pernah mengalami hal ini berkali-kali, tapi entahlah aku tak yakin.
Setelah membersihkan diri aku memilih untuk keluar dan berjalan-jalan, mencoba mengenali lingkungan.
Beberapa kali aku berpapasan dengan orang-orang yang tak pernah kulihat. Tak jarang mereka menatapku dengan tatapan iba. Hey memang aku kenapa? Aku hanya mengabaikan tatapan orang-orang itu lalu melenggang pergi.
Aku berjalan terus sampai menemukan tempat yang sepertinya itu taman, membeli minuman dan makanan lalu mencari tempat untuk duduk. Aku selalu menemukan uang di meja kamar, entah darimana. Seperti ada yang sengaja meletakkannya.
Sambil menikmati makanan, kuperhatikan orang-orang yang berlalu lalang. Mereka bercengkrama, tertawa, berjalan bersama, saling tersenyum satu sama lain. Mereka tampak bahagia. Kenapa aku merasa hanya sendirian ditempat seramai ini? Aku terus melamunkannya.
"Hai, boleh aku duduk disini?" aku mendongak ke arah suara itu berasal. Menemukan seorang laki-laki yang cukup tampan untuk dilihat.
"Ya." jawabku pelan sambil mengangguk kecil. Lalu aku kembali berdiam diri.
"Kau sendirian disini? Atau sedang menunggu teman?" Laki-laki itu bertanya lagi.
"Aku hanya sendiri." jawabku tanpa memandangnya.
"Aku kevin. Kau?" laki-laki itu menyodorkan tangannya. Aku hanya memandangnya sekilas lalu kembali kedalam duniaku. Mengacuhkan pertanyaanya.
"Kau keberatan jika kita berkenalan?" tanya nya lagi. Aku menatapnya, mencoba mengenali sosok disampingku ini. Tapi nihil, aku tak mengenalinya samasekali.
"Aku tak punya nama." jawabku.
Dia sedikit terkejut. "Kau tak ingin berkenalan denganku?" tanyanya.
Aku menghembuskan napas pelan. "Aku memang tak punya nama. Aku bahkan tak tahu siapa diriku."
"Apakah kau amnesia?" laki-laki ini benar-benar ingin mengetahui tentang diriku. Apa yang harus kulakukan?
"Aku tidak tahu." aku terdiam. Bagaimana bisa aku tidak mengenali diriku?
"Dimana rumahmu? Apa kau punya saudara?"
Saudara? Apakah aku punya? "Aku tidak tahu" jeda sejenak. "Aku bahkan tak ingat apa yang kulakukan kemarin. Ah bahkan aku tak tahu apakah kemarin aku pernah hidup."
"Ini aneh.." laki-laki itu terdiam sejenak. "Bagaimana bisa kau tidak mengingat apapun?" dia tampak berpikir. "Kalau memang kau terkena amnesia, setidaknya kau ingat kalau kau pernah berada di rumah sakit. Dan setidaknya saudara mu pasti pernah mengunjungimu. Kau pasti mengenal siapa saudaramu."
"Kuharap demikian. Tapi aku benar-benar tak tahu apapun. Saat bangun tidur, aku merasa seperti baru pertama kali hidup." Aku menyesap minuman yang tadi ku beli.
"Yang benar saja? Apa ada orang yang mengalami hal sepertimu?"
"Tidak tahu. Mungkin saja?" entah ini pernyataan atau pertanyaan.
"Berapa umurmu?" tanyanya.
"Bukankah sudah ku katakan, aku tak tahu apapun"
"Oke, maaf." laki-laki itu terdiam.
"Hmm" aku hanya menggumam.
"Kalau begitu, apa yang akan kau lakukan hari ini?"
Aku berpikir. Apa yang harus kulakukan hari ini? Tidak ada hal yang menarik karena aku hanya sendiri. Apa aku mengurung diri di kamar yang tadi saja?
"Tidak ada" jawabku singkat.
"Tidak ada? Ayolah apa kau tidak mau melakukan sesuatu? Kau bisa berjalan-jalan, kau bisa pergi menonton, kau bisa mencicipi makanan. Banyak hal yang bisa kau lakukan hari ini."
"Tapi aku tak tahu daerah sini. Aku tak tahu dimana dan tak ada seorangpun yang kukenal. Itu hanya menbuatku semakin bingung."
"Kalau begitu, mari kita berkenalan. Aku Kevin. Kuharap kita dapat berteman." laki-laki itu menyodorkan tangannya. Aku terdiam sejenak. Apa aku harus menerima ajakan perkenalannya? Sepertinya aku harus mencoba.
"Aku...panggil saja sesuka hatimu. Aku tak peduli. Dan ya, mungkin kita bisa terteman." aku menjabat tangannya.
Dia tersenyum. "Baiklah bagaimana kalau namamu..." dia berpikir. "Tak adakah satu nama yang terlintas dipikiranmu?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Tidak."
"Berarti tak masalah kalau aku memanggilmu, Nara?"
Nara? Nama yang cukup bagus. Lagi pula untuk apa aku memperdulikannya?
"Nara. Namaku Nara. Senang berkenalan denganmu, Kevin." aku tersenyum.
Sepertinya Kevin adalah laki-laki baik.
"Aku juga senang berkenalan denganmu." dia melirik jam tangannya sekilas. "Apa kau lapar? Sekarang sudah jam makan siang."
"Aku sudah membeli camilan. Apa kau lapar?"
"Ya, aku ingin makan sesuatu. Ayo aku tahu kita harus kemana"
Dia berdiri mengulurkan tangannya. Aku menerima uluran dan mengikutinya.
Sepanjang perjalanan dia banyak menceritakan hal-hal menarik, sesekali aku tertawa karena leluconnya. Akhirnya kami tiba di suatu tempat makan.
"Kau ingin makan apa?"
"Apa saja, aku tak tahu apa yang enak."
"Tak keberatan kalau kupesankan ramen?"
Aku mengangguk. Entah seperti apa bentuknya ramen itu, tapi sepertinya enak.
Kami menuju tempat duduk yang kosong dan duduk saling berhadapan.
"Sebenarnya aku ingin mengenal banyak tentangmu. Tapi kurasa itu tidak mungkin. Hahaha" dia tertawa.
Aku teringat sesuatu. "Saat aku terbangun dan memeriksa sekitar, aku hanya menemukan kertas didekat kaca. Dan beberapa lembar uang di meja. Seperti ada yang menaruhnya disana. Tapi aku tak menemukan orang lain. Aku hanya sendirian di rumah kecil itu."
"Kertas? Apa isi kertas itu?"
"Beberapa baris kalimat yang intinya aku harus terus hidup"
"Ini aneh tapi juga membuatku penasaran. Kau benar-benar menarik perhatianku." kevin tersenyum. Entah apa makna senyum itu, tetapi itu senyum yang berbeda dari sebelumnya.
"Apa maksudmu?" tanyaku.
"Tidak. Lupakanlah, aku hanya bergurau."
Dia memalingkan wajahnya. Tapi, hey kenapa muka nya memerah?
"Apa kau sakit?" tanyaku khawatir.
"Tidak. Memang aku terlihat sakit?" Kevin bertanya dengan heran.
"Tapi muka mu memerah. Apa kau yakin baik-baik saja?" aku menyentuh wajahnya. Kevin terkesiap saat tanganku menyentuh pipinya.
"A..aku baik-baik saja. Ya benar, aku sehat. Ini hanya karena cuaca." dia terdiam menatapku.
Aku menarik kembali tanganku. "Baiklah."
Pesanan kami datang. Aromanya membuat perutku meronta. Aku mencicipi kuah ramen. Ini enak!
"Kevin, ini enak!" aku berbinar saat merasakannya.
"Aku tahu. Makanlah sebelum mengembang." Kevin mengusap kepalaku gemas.
Aku terdiam. Usapan itu..
"Makanlah." Kevin berkata lagi sambil tersenyum. Namun aku hanya terdiam.
Aku kenapa? Usapannya tadi...kenapa rasanya aneh?
"Nara, kau baik-baik saja?" Kevin mengerakkan tangannya didepan mataku. Aku tersadar.
"A-ah ya aku baik-baik saja. Hanya terkagum dengan rasa ramen ini. Hehe" aku terkekeh kecil lalu mulai memakan ramenku. Kevin juga melanjutkan kembali makannya.
Ini enak, apakah aku pernah memakan ini sebelumnya? Entahlah aku tak bisa mengingat.
"Setelah ini, kau ingin kemana?" tanya Kevin sambil meletakan sumpitnya.
"Vin, aku sudah bilang kan?" aku menatapnya malas. Ini sudah kesekian kalinya dia menanyakan hal yang dia sudah tahu jawabannya.
"Aku hanya bercanda. Hahaa. Maaf, tapi kau lucu saat seperti ini. Haha" dia mencubit pipiku gemas.
Aku terdiam. Sial kenapa seperti ini lagi? Sama seperti usapan tadi, kenapa rasanya aneh?
Kevin menyadari aku yang hanya terdiam. Dia menyadari tangannya yang ada di pipiku dan segera menariknya. Namun aku menahan tangannya. Tetap berada di pipiku.
"Kevin.." aku memanggilnya.
"N-nara, ada apa?" dia menatapku dengan ekspresi yang aneh. Gugup?
"Kenapa saat tanganmu menyentuhku, rasanya aneh."
"M-maksudmu?" dia tergagap.
"Dan kenapa..kenapa kau tergagap. Apa kau gugup?"
Kevin hanya terdiam.
"Kau tahu kevin, aku tak pernah merasakan ini sebelumnya. Tapi ini entah apa namanya. Aku bahagia merasakannya." ucapku jujur. "Apa kau juga merasakannya? Apa kau tahu itu apa?"
"Bisa kita membicarakannya di tempat lain?" tanya Kevin.
Dan disinilah kami berada. Tepi sungai. Kami duduk di salah satu bangku yang ada.
"Kau tahu, saat seorang perempuan dan laki-laki bertemu. Akan ada banyak rasa yang tercipta?"
Aku menggeleng.
"Ada perasaan suka, sayang, cinta dan benci." kevin memandangku. "Suka adalah hal pertama yang kau rasakan saat bertemu. Sayang adalah tahap kedua, tahap dimana kau nyaman dan ingin selalu berada didekatnya. Tahap ketiga adalah cinta. Ini lebih kompleks. Cinta adalah saat kau merasa ingin menghabiskan segala hal bersama, saling melengkapi, saling mendukung satu sama lain, dan saling mengasihi."
"Lalu apa itu benci?"
Kevin memandang sungai "Saat kau merasakan bahwa kau tak bisa melakukan yang kau inginkan. Perasaan saat kau tak bisa memiliki apa yang kau inginkan."
Aku mengangguk sambil ikut memandang sungai. "Aku mengerti. Jadi, yang kurasakan tadi..apakah itu perasaan suka?"
Kevin memandangku. "Ya, mungkin saja."
"Apa kau juga merasakannya?" aku menatap mata Kevin. Mencoba mencari jawabannya.
"Apa aku harus menjawabnya?" pertanyaan Kevin membuatku bingung. Kenapa dia harus tidak menjawabnya?
"Kau tahu, aku tidak mengingat apapun. Setidaknya saat ini aku mulai mengetahui beberapa hal. Dan aku juga mempunyai seorang teman. Aku takut aku tak punya waktu. Jadi, jika ada hal yang memang ingin kau katakan, katakanlah." aku mengalihkan pandanganku. Memandang kosong ke arah sungai. Apakah aku pernah merasakan ini sebelumnya? Merasa ingin selalu bersama dengan seseorang dan berada di dekatnya?
"Aku merasakannya. Bahkan lebih dari yang kau rasakan." Kevin mengenggam tanganku. Dan lagi-lagi perasaan itu datang.
Kevin memandangku dalam. Tatapan itu lebih dalam dari sebelumnya. Terlalu banyak makna dari tatapan itu.
"Apa...kita pernah bertemu sebelumnya?" aku bertanya dengan hati-hati.
"Tidak. Ini pertama kalinya kita bertemu."
"Tapi kenapa aku bisa nyaman di dekatmu? Kenapa aku tidak melarangmu saat kau mengajak berkenalan? Kenapa aku seperti mempercayaimu?"
Kevin terdiam. Ada hening yang cukup lama. "Mungkin..."
Kevin menggantungkan kalimatnya.
"Mungkin..."
Aku memandangnya dengan rasa ingin tahu.
"Mungkin...karena aku tampan?" Kevin memamerkan cengirannya.
Aku memandangnya jengah.
"Wow kita sudah duduk selama 2 jam disini. Sekarang sudah sore. Apa kau ingin pergi ke tempat lain?" tanya Kevin.
"Ayo, kita berjalan-jalan lagi"
Kami lalu pergi meninggalkan sungai. Baru kusadari, ternyata tangan kevin tak melepaskan genggamannya sedari tadi.
Kami berjalan menuju supermarket untuk membeli beberapa cemilan.
"Kevin, kau tahu ini apa?" aku menunjuk kearah salah satu botol minuman.
"Itu soju. Kau mengingat sesuatu?" tanya kevin heran.
"Tidak. Tapi sepertinya itu menyenangkan. Bisakah kau membelinya?" aku menatap kevin.
"Kau ingin minum-minum? Apa kau yakin?"
"Memang kenapa? Apa tak boleh?" aku bertanya lagi.
"Boleh. Kau sudah dewasa, kau boleh meminumnya. Tapi kau tahu kan resikonya? Kau bisa mabuk."
"Ayo beli itu. Aku ingin tahu rasanya." aku mengambil 4 botol soju.
"Kau benar-benar yakin?" tanya Kevin memastikan.
"Aku sangat amat yakin. Apa kita perlu menambah 3 botol lagi?"
"Tidak. Ini sudah cukup. Ayo kita bayar." Kevin menarik tanganku menuju kasir. Setelah membayar, kami langsung berjalan keluar.
"Kita mau kemana?" aku bertanya.
"Kau ingin minum di tempatmu atau tempatku?" Kevin bertanya.
Aku tidak tahu apa-apa tentang daerah sini. Kalau aku ke tempat Kevin, bagaimana aku pulang? Baik aku dan Kevin pasti sama-sama mabuk
"Tempatku saja." jawabku. "Dan jangan bertanya apa aku yakin atau tidak."
Kevin terkekeh lalu menggait lenganku. "Baiklah nona keras kepala. Tunjukan arah tempatmu."
"Tidak jauh dari taman tadi pagi."
Kami berjalan sambil bergandengan tangan sampai tiba di tempatku, rumah kecil ku. Ah ya, rumah kecil yang mungkin milikku
"Sepertinya kau benar-benar tinggal sendiri." gumam Kevin.
"Sudah ku katakan. Ayo kita duduk." aku melepas sepatuku dan menuju dapur. Mengambil gelas dan air mineral. Saat kembali, kulihat Kevin sedang berkeliling rumahku.
"Kenapa tidak ada satupun foto?" gumam kevin yang terdengar olehku.
"Percuma kau menanyakan hal itu. Ayo kita minum!" ucapku semangat.
Aku duduk dan diikuti oleh kevin. Rasa minuman itu, entahlah aku sulit mendeskripsikannya. Tapi sepertinya aku sudah terbiasa meminumnya.
"Nara." Kevin memanggilku.
"Iya?" aku menatapnya.
"Bagaimana kalau aku mabuk?" tanya kevin.
"Kau bisa istirahat disini. Kalau kau mau."
"Apa kau tidak takut?" tanya Kevin lagi.
"Tidak. Kenapa aku harus takut?" Nara bertanya heran.
"Karena aku seorang laki-laki." Kevin menenggak minumannya.
"A-ah itu...aku..kau tahu, yang lebih kutakutkan adalah aku tidak bisa mengingat hari ini. Aku tidak bisa mengingat kau. Dan hal-hal yang terjadi." aku terdiam murung. Bagaimana jika besok aku tak bisa mengingatnya?
"Nara..." kevin mengenggam tanganku. Aku menatap matanya.
"Jangan bersedih. Aku yakin kau kuat. Kau bisa mengingat hari ini. Kau tidak akan melupakannya esok." Kevin menatapku iba.
"Jika aku tak bisa?" aku bertanya lagi.
"Maka aku akan berusaha untuk membantumu mengingatnya." jawab Kevin. Ada nada tulus dalam ucapannya.
"Berjanjilah." aku menyodorkan jari kelingkingku.
"Ya, aku berjanji." Kevin mengaitkan jari kelingkingnya dan tersenyum. Aku memeluknya erat.
"Terima kasih, Kevin."
"Sama-sama, Nara."
"Ayo kita bersulang!" aku mengangguk lalu menenggaknya lagi.
Kami berbincang dan tertawa sambil memakan camilan yang tadi kami beli. Tak terasa ini sudah botol keempat yang kami minum. Aku mulai tak fokus. Kuperhatikan Kevin yang tak jauh beda denganku. Aku tertawa kecil.
"Kenapa kau tertawa, Nara? Apakah karena aku lucu?" tanya kevin dengan alis menyatu.
"Iya, kau lucu. Ahahha" aku tertawa sambil mencubit kedua pipi Kevin.
"Sakit, Nara. Kau bisa merusak ketampananku." Ujar Kevin merajuk.
Aku terus tertawa sambil mencubit pipi Kevin. Namun Kevin tak tinggal diam, dia mulai menggelitikiku.
"Stop, Kevin! Ini geli! Ahahha stop, kumohon ahaha" aku melepaskan cubitanku dan berusaha menjauhkan tangan Kevin. Tapi kevin terus menggelitiku. Aku balas menggelitiki Kevin.
"Stop Kevin. Ahaha perutku sakit kau kelitiki terus ahaha" aku tertawa sambil menahan geli.
"Tidak akan ku hentikan. Kau juga menggelitiki ku."
Kevib terus menggelitiki ku. Dan aku tak bisa berhenti tertawa. Lalu kevin terdiam menatapku, membuat tawaku terhenti dan menatapnya.
Perlahan kevin mulai mendekatkan wajahnya kearahku. Dia mengecup keningku. Seketika rasa kantuk menyerangku. Kevin melihatku menguap lalu membawa kepalaku ke dadanya. Mengusap lembut kepalaku. Nyaman. Perlahan pandanganku menggelap. Dan semakin lama aku semakin terlarut dalam mimpi.
Keesokan harinya.
Saat aku terbangun, yang kurasakan adalah sakit di kepalaku. Aku mencoba bangun tetapi kepalaku semakin sakit. Kurebahkan lagi kepalaku, dan sambil menahan sakit aku menatap kearah sekitar.
Dimana aku? Kenapa aku ada disini? Dan siapa aku?
Perlahan rasa sakit itu hilang. Aku lalu berjalan menutup pintu, mencoba mencari tahu. Setelah mengelilingi seluruh ruangan, tak ada yang ku temukan. Rumah ini tampak kosong, seperti hanya aku yang tinggal disini. Tetapi aku menemukan sebuah kertas di kaca dan beberapa lembar uang di meja. Kertas itu berisi tulisan yang tak ku ketahui siapa yang menulisnya. "Hari yang baru. Jangan pikirkan apapun. Karena aku harus tetap bertahan hidup"
Aku tak tahu apa makna tulisan itu. Sesaat aku memandang pantulan wajahku dicermin. Seperti nya aku adalah perempuan yang sudah berumur 20 tahunan. Pantulan itu memperlihatkan wajahku yang kacau. Aku lalu menuju kamar mandi untuk membersihakan diri. Setelah aku memilih baju yang entah kenapa semuanya pas ditubuhku. Lalu aku berjalan keluar rumah. Berjalan di antara orang-orang yang berlalu lalang. Sampai aku tiba di sebuah taman. Aku melihat sekitar yang ramai oleh orang-orang. Ada yang berjalan santai sambil tertawa, berlari atau sekedar berbincang. Aku lalu menuju salah satu bangku yang kosong, hanya duduk dan memandang kosong. Kurasakan perutku perih, mungkin cemilan bisa membuatku kenyang. Setelah membeli makanan, aku kembali duduk di tempat yang sama, namun tak lagi kosong. Ada seorang laki-laki yang duduk disana.
"Permisi, apakah aku boleh duduk disini?" tanyaku sopan. Laki-laki itu mendongakkan kepalanya.
"Boleh. Silahkan saja." dia mengangguk sambil tersenyum. Manis. Satu kata yang kusimpulkan dari senyumannya.
Aku lalu duduk dan mulai memakan makanan yang kubeli.
"Apa kau selalu kesini?" tanya laki-laki disebelahku.
Seketika aku terdiam. Apa aku sering ke taman ini? "Aku tidak tahu."
"Ini pertama kalinya kau kesini? Kau baru pindah?" tanya laki-laki itu lagi.
"Tidak. Ya, mungkin. Tidak. Ah aku tidak tahu."
Laki-laki itu bingung mendengar jawabanku.
"Kau aneh." laki-laki itu berkata sambil mengamatiku.
"Aku pun berpikir begitu. Saat terbangun tadi, aku tak mengenali siapa diriku dan dimana aku berada. Ini seperti pertama kalinya aku hidup" ucapku sambil memandang kosong. Sudah tak kupedulikan lagi makanan tadi. Rasanya nafsu makanku hilang.
"Apakah kau amnesia?" tanya laki-laki itu.
"Mungkin. Tidak. Iya. Aku tidak tahu." aku menggeleng kepala pelan.
"Apakah ada yang kau ingat?" laki-laki itu terus bertanya dan jawabanku selalu sama. Aku tidak tahu apapun.
"Ini aneh. Kalau memang kau mengalami amnesia, seharusnya kau mengingat dimana kau dirawat. Atau setidaknya kau ingat pernah di rawat." laki-laki itu memandang kearah lain sambil berpikir.
"Kau bahkan tak ingat namamu" gumam laki-laki itu. Dan aku hanya mengangguk pelan.
"Apa yang sudah kau lakukan. Apa saja yang kau ingat sudah kau lakukan?" tanya laki-laki itu lagi
"Yang ku ingat hanya aku terbangun dengan kepala sakit, lalu berjalan mengelilingi rumah, menemukan sebuah kertas dan beberapa lembar uang di meja. Lalu aku berjalan hingga sampai di taman ini" aku menjelaskan sambil mengingat apa saja yang sudah kulakukan.
"Selama hidupmu kau hanya mengingat itu? Apakah tak ada saudara atau keluargamu yang kau ingat?"
"Tidak. Hanya itu yang kuingat."
"Apa isi kertas itu?"
"Hanya beberapa kalimat yang intinya aku harus terus hidup." aku terdiam.
"Kau sudah melaporkan ke polisi?"
"Untuk apa?" tanyaku heran.
"Kau tidak takut kalau kau adalah korban penculikan dan pencucian otak?"
Aku terdiam. "Kalau aku korban penculikan, tidak mungkin aku berada dirumah yang layak huni itu. Dan kalau memang aku korban pencucian otak, lalu kenapa aku dibiarkan sendirian? Orang yang melakukan pencucian otak mungkin tidak membiarkanku hidup." aku bingung dan bertanya-tanya. Apa mungkin aku korban pencucian otak? Tapi kenapa rasanya itu tidak mungkin.
"Dan kau tahu, perkataanmu mengenai pencucian otak itu. Entah kenapa aku sangat yakin kalau aku tak mengalami hal itu." tambahku.
"Apa kau yakin? Kau bahkan tak mengingat apapun."
"Aku tak tahu. Hanya saja tiba-tiba keyakinan itu muncul. Keyakinan itu langsung menolak bahwa aku adalah korban pencucian otak." aku menerangkan apa yang kurasakan.
"Anggaplah kau bukan korban pencucian otak. Lalu apa yang akan kau lakukan hari ini?" laki-laki itu menatapku.
"Aku tidak tahu." jawabku sambil terdiam.
"Kenapa kau tak coba ke rumah sakit untuk memeriksakan diri?" saran laki-laki itu.
Menurtku itu ide yang bagus. Tapi entah kenapa aku merasa bahwa itu adalah hal yang sia-sia.
"Aku tidak mau."
"Kenapa? Bukankah kau ingin tahu tentang apa yang terjadi padamu?" tanya laki-laki itu heran.
"Sama seperti korban pencucian otak itu. Rasanya pergi kerumah sakit dalah hal yang sia-sia." ucapku lemah.
Aku menghembuskan napas berat. Rasanya aku lelah sekali. Aku lalu bangkit, sepertinya aku harus pulang.
"Kau mau kemana?" tanya laki-laki itu ikut berdiri.
"Sepertinya aku akan pulang."
"Baiklah, mungkin kau butuh istirahat. Oh iya, aku Kevin." laki-laki itu menyodorkan tangannya.
Aku menyambut uluran tangan itu. "Senang berbincang denganmu, Kevin. Tapi aku tak tahu siapa namaku."
"Bagaimana kalau namamu adalah Nara? Kurasa itu cocok untukmu." kevin tersenyum sambil tetap menjabat tanganku. Seketika perasaan aneh menyerangku. Rasanya aku pernah mengalami hal ini. Perasaan ini tak asing. Aku pernah mengalaminya, tapi aku tak bisa mengingatnya kapan. Seketika kepalaku berdenyut. Sangat sakit, aku memegang kepalaku yang terus berdenyut. Kuperhatikan sekitar yang mulai mengabur. Terlihat wajah Kevin yang khawatir dan samar-samar memanggilku. Lalu semuanya menggelap.
Aku membuka mataku dan melihat sekeliling. Dimana ini?
Seseorang dengan pakaian putih datang.
"Tolong jangan banyak bergerak dulu, kau baru sadar." ujar orang itu.
Aku terus memandangnya. "Kau siapa? Ini dimana?"
"Aku adalah dokter dan kau sedang berada di rumah sakit. Kau tak sadarkan diri selama 3 hari." laki-laki yang ternyata dokter itu menjelaskan.
"Kenapa aku bisa pingsan?" tanyaku heran.
"Karena penyakitmu."
"Penyakitku? Memang aku punya penyakit?" ini semakin membuatku bingung. Aku merasa baik-baik saja.
"Ah ya, kau tidak akan ingat. Sebelum aku jawab pertanyaanmu, boleh aku bertanya terlebih dahulu?" tanya dokter itu.
Aku hanya mengangguk.
"Apa kau tahu siapa namamu?"
Pertanyaan yang aneh, bagaimana aku tidak tahu namaku sendiri?
"Ahaha dokter aneh. Tentu saja aku tahu. Namaku adalah.."
Tunggu, apa aku punya nama? Rasanya aku punya nama. Tapi kenapa aku tidak mengingat nya?
Aku menatap dokter dengan tatapan bertanya. "Dokter, kenapa aku tak ingat siapa namaku?"
"Itu karena penyakitmu."
"Aku tak mengerti. Bisa dokter jelaskan semuanya?"
"Namamu adalah Nara Adelia. Kau adalah mahasiswi salah satu perguruan tinggi. Dua tahun yang lalu kau mengalami sebuah kecelakaan. Aku sendiri adalah dokter yang menangani kasusmu. Saat itu luka di kepalamu sangat parah, karena yang terluka adalah bagian dalam kepalamu. Kecelakaan itu melukai beberapa saraf di otakmu. Namun itu dapat teratasi dengan operasi. Luka-luka di tubuhmu pun bisa di sembuhkan. Hanya satu yang membuatmu tak bisa menjalani kehidupan seperti biasa. Yaitu penyakitmu."
Dokter itu menghela napas sebentar. Lalu melanjutkan kembali. "Penyakitmu itu baru ku sadari 3 hari setelah kau sadar. Saat kau terbangun kau seperti orang kebingungan. Kau tak mengingat siapa dirimu. Dan seperti itu setiap harinya. Penyakitmu itu...kau mengalami amnesia setiap hari. Kau akan melupakan apa yang terjadi setelah kau terbangun dari tidur. Karena saat tertidur otakmu secara otomatis menghapus semua memori. Itulah yang menyebabkan kau selalu menjalani hari seperti baru pertama kali hidup. Kau bahkan tak ingat apa yang pernah kau lakukan selama kau hidup."
Setelah penjelasan panjang itu, aku hanya bisa terdiam. Apa aku mempunyai penyakit seperti itu? Kenapa rasanya ini sulit diterima? Kenapa rasanya dokter itu seperti mengada-ada?
Banyak pertanyaan yang merasuki kepalaku, membuat kepalaku berdenyut. Sangat menyakitkan. Aku meringis sambil memegang kepalaku. Rasanya sangat sakit, seperti akan meledak.
"Nara, jangan pikirkan hal-hal apapun. Kau menyakiti dirimu." dokter itu mencoba menenangi. Perlahan rasa sakit itu memudar. Aku lalu terdiam, menatap kosong ke arah atap.
"Dokter.." ucapku lemah.
"Ya, Nara?"
"Apakah aku bisa sembuh?" tanyaku sedih. Tak terasa sesuatu mengalir di pipi. Terasa panas.
"Nara, pihak rumah sakit sudah berusaha. Kami sudah mencoba melakukan segala cara untuk membantumu menyembuhkan penyakit itu. Namun hasilnya nihil." jawab dokter itu dengan lemah.
"Sudah...sudah berapa lama aku seperti ini?"
"2 tahun, Nara. Kau menghabiskan waktu setahun dirumah sakit ini."
"Apakah dokter tahu siapa keluargaku? Apakah aku punya seseorang yang menjagaku? Saudaraku?"
"Kau anak tunggal. Kedua orang tuamu meninggal. Kau ada di hari akhir mereka."
"Tapi a-aku...aku tak mengingat apapun."
Aku menangis. Bagaimana bisa aku melupaka semua yang telah terjadi? Bagaimana aku bisa tak mengingat satu hal pun yang pernah kulakukan? Kenapa aku bisa mempunyai penyakit ini? Kenapa harus aku? Kenapa? Aku menangis. Terus menangis sampai kurasakan tak ada air mata yang keluar lagi.
Dokter itu ada disampingku. Mencoba membuatku tenang. Bagaiamana aku bisa tenang? Aku bahkan tak pernah merasa hidup. Aku tak pernah hidup.
"Nara, jangan berhenti untuk terus hidup. Kau masih memiliki kesempatan untuk terus hidup. Jangan sia-sia kan hal itu, Nara. Kau pasti bisa menjalaninya. Berdoalah semoga Tuhan memberikan mukjizat kepadamu."
Dokter itu mengusap kepalaku pelan. Seketika aku terdiam. Aku pernah merasakan ini. Usapan di kepala, aku pernah merasakannya. Tapi kapan dan oleh siapa, aku tak tahu. Kepalaku berdenyut lagi. Aku meringis, terlalu sakit untuk menahan. Pandanganku lalu menggelap.
Aku membuka mataku dengan lemah. Dimana aku sekarang? Perlahan aku mengedarkan pandangaku, mencoba mencari tahu tempat apa ini. Yang kutemukan adalah seseorang yang tertidur disampingku. Orang itu menggenggam tanganku.
Aku mencoba melepaskan pegangan itu, namun sepertinya yang kulakukan adalah membangunkan orang itu. Dia mengusap matanya kasar.
"Kau sudah bangun? Apa kepalamu masih sakit?" tanya orang itu setelah selesai mengusap matanya.
"Aku dimana?"
Dia terdiam. Lalu pergi meninggalkanku yang kebingungan. Orang aneh, ditanya malah pergi.
Aku mengedarkan lagi pandanganku. Lalu seseorang datang. Dari pakaiannya, dia seperti seorang dokter.
"Kau sudah sadar, apakah kepalamu masih sakit?" tanya dokter itu.
"Aku baik-baik saja. Hanya...sedikit bingung. Aku dimana?" tanyaku bingung.
"Kau dirumah sakit. Kau pingsan lagi."
Lagi? Apa aku pernah pingsan sebelumnya?
"Tapi..kenapa aku bisa pingsan? Dan apakah aku sebelumnya pernah pingsan?" tanya ku berbelit.
Saat dokter itu akan berbicara, tiba-tiba orang yang tadi pergi itu datang kembali. Dia terlihat lebih tampan dari sebelumnya.
Tampan?
Kenapa rasanya aku pernah mengatakan hal itu sebelumnya?
"Nara, apa kau mendengar yang kukatakan?" tanya dokter itu.
Siapa Nara? Aku hanya mengabaikan dokter itu karena tak merasa bertanya padaku. Pandanganku tetap kepada laki-laki yang sekarang sedang menyeduh teh atau mungkin kopi. Entahlah aku tak peduli. Tapi kenapa aku sepertinya sangat mengenal laki-laki itu?
Aku mengerutkan kening, mencoba mengingat siapa laki-laki itu sampai tanpa kusadari laki-laki itu sudah berada disamping tempat tidurku. Aku terus memandangnya.
"Kau baik-baik saja, Nara?" tanya laki-laki itu.
"Apa kita saling mengenal? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanyaku langsung. Raut laki-laki itu berubah, seperti...kecewa? Kenapa raut wajahnya seperti itu?
"Nara, kenalkan aku adalah Kevin. Orang yang kau temui di taman."
Kevin? Taman? Kapan aku pernah bertemu Kevin? Dan kapan aku pernah ke taman?
Aku memandangnya bingung. "Kau tidak akan mengingatnya, Nara. Aku tahu itu." laki-laki itu menghela napas berat. Seperti ada beban yang sangat berat.
"Dokter, apakah aku sering pingsan?" tanyaku pada dokter. Mencoba menjauhkan pandangan dari laki-laki yang bernama Kevib itu.
"Sebelumnya tidak. Tapi dalam satu minggu ini kau pingsan 2 kali." terang dokter itu.
"Kenapa aku bisa pingsan?" gumam Nara lebih kepada dirinya sendiri.
"Karena kau terlalu memikirkan ku." ucap laki-laki itu enteng. Hey! Memang aku mengenalmu?
"Dokter, apakah dokter tahu siapa dia?" tanyaku sambil menunjuk laki-laki itu.
"Tentu. Dia lah yang membawamu kemari. Dia juga yang beberapa hari ini menemanimu. Ku kira dia pacarmu." jawab dokter itu.
"Pacar? Apa kita berpacaran?" tanyaku sambil menatap laki-laki itu, mengalihkan pandanganku dari dokter.
"Tidak. Ah-belum. Kalau saja kau tak melupakanku, kita mungkin sudah berpacaran." ucap Kevin.
"Apa kau menyukaiku?" tanyaku lagi.
"Kenapa aku harus tidak menyukaimu?"
Aku terdiam. Pertanyaan Kevin, kenapa rasanya dia pernah mengatakan sebelumnya?
"Kau tak apa, Nara? Apa ada yang sakit?" tanya Kevin dengan nada khawatir karena aku meringis merasakan kepalaku berdenyut.
"Tidak. Ah-aku tidak apa. Hanya rasanya denyut ini sangat sakit." aku memegang kepalaku, berharap rasa sakitnya sedikit berkurang.
Kevin menjauhkan tanganku dari kepala. Mengusao kepalaku pelan, seperti berusaha meredakan denyut itu. Aku terkesima. Aku pernah merasakan ini. Ya, aku sangat yakin aku pernah merasakan ini. Perlahan aku menggenggam tangan Kevin yang berada di kepalaku. Membawa tangan itu kearah pipiku.
Kevin tersenyum dan mengusap pipiku lembut. Rasanya nyaman, aku menutup mataku merasakan hangatnya tangan Kevin. Kurasakan air mataku menetes. Aku terisak kecil.
"Jangan menangis, Nara." Kevin berkata sambil terus mengusap pipiku, kali ini dengan kedua tangannya. Suara Kevin bergetar, seperti menahan tangis.
Aku membuka mataku yang sedikit kabur karena air mata. "Aku tak tahu sudah berapa lama kita saling mengenal. Aku tak tahu bagaimana kita bertemu. Aku tak mengingat apapun tentang kita. Tapi usapan dikepala dan sentuhan di pipi, rasanya aku pernah merasakannya. Ini terlalu nyaman. Aku pernah merasakan ini. A-aku pernah merasakannya."
Aku kembali menangis. Kulihat Kevin memejamkan matanya, perlahan kulihat butiran air mata mengalir di pipinya. Tanganku terulur menyentuh kedua pipinya, menghapus air matanya. Sama seperti yang dia lakukan kepadamu. Matanya terbuka menatapku. Mata yang memerah karena tangisan. Mata itu penuh dengan keutulusan dan kasih sayang. Aku tenang menatap matanya.
Kevin lalu memeluk diriku. Semakin membuatku menangis. Aku merasa seperti sudah hidup lama. Aku merasakan apa yang pernah kurasakan sebelumnya, di cintai oleh seseorang. Mungkin kedua orang tuaku pernah memberikan perasaan yang sama. Pelukan Kevin semakin erat. "Jangan menangis. Aku ada disini, aku selalu disini." suaranya parau dan bergetar akibat tangisan.
"K-kevin. Maafkan aku" aku terisak. "Maaf karena aku tak bisa mengingatmu"
Pelukan Kevin perlahan mengendur, dia menatap mataku, masih dengan genangan dikelopak matanya yang dengan satu kedipan saja akan membuat air nya mengalir.
"Aku pernah mengatakan ini sebelumnya. Kalaupun kau tak mengingatku, aku yang akan membuatmu mengingatnya. Walaupun aku tahu itu sulit, tapi aku akan terus berusaha." tangan Kevin mengusap pipiku, berusaha menyingkirkan air mata yang masih terus mengalir. "Aku menyayangimu, Nara. Bahkan sejak pertama kali bertemu denganmu. Aku menyayangimu. Dengan segenap hatiku. Dan rasa sayang itu bertambah setiap harinya. Tak peduli bagaimana keadaan dirimu."
Aku terdiam mendengarkan setiap kata yang diucapkan Kevin. Setiap katanya itu mengandung doa yang membuat hatiku tenang dan dialiri kehangatan. Aku tersenyum tulus dalam tangisku lalu memeluknya.
Memang aku tak mengingat apapun yang pernah kulakukan sebelumnya, tapi aku masih bisa mengingat perasaan ini. Perasaan tulusnya. Tangisku terhenti tetapi masih tetap memeluknya.
"Mau sampai kapan kau memelukku, Nara?" Kevin bertanya sambil tertawa kecil.
Aku tersenyum dan melepaskan pelukanku lalu menatap wajahnya. "Selama ku masih mengingatmu, aku akan terus memelukmu." kemudian kembali memeluknya.
Suasana itu terganggu karena suara perutku yang meraung.
"Ayo kita makan!" ucapku riang sambil memamerkan cengiranku.
"Aku ambilkan makananmu. Kau tunggu sini, ya." aku mengangguk. Kevin mengusap kepalaku lalu keluar dari kamar tempatku dirawat. Aku bahagia. Dan aku berdoa, semoga Tuhan masih memberikan ku kebahagiaan ini.
Setiap hari adalah hari yang baru bagiku. Dan Kevin tak pernah mengingkari janjinya. Dia selalu membuatku mengingat perasaan itu. Kevin selalu menceritakan apa yang sudah terjadi pada hari sebelumnya. Dia tak pernah lelah berada disampingku, memberikan semangatnya kepadaku untuk terus menjalani hidup. Perlahan keajaiban itu datang. Tuhan memberikan mukjizat nya. Sedikit demi sedikit aku mulai mengingat apa yang terjadi di hari sebelum aku tertidur. Ingatan itu lama kelamaan semakin menguat. Aku tak lagi melupakan siapa namaku dan berada dimana saat aku terbangun. Aku tak lagi menanyakan siapa laki-laki yang ku temu di taman. Aku tak lagi menanyakan kenapa aku tak mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Segala nya berubah menjadi lebih baik. Dan Kevin tak pernah sekalipun menyerah. Ketulusan hatinya membuatku meyakini bahwa suatu saat aku akan sembuh. Ya, suatu saat.