Aku hancur. Aku tahu itu tapi sulit rasanya meninggalkannya. Aku tahu itu salah tapi aku tak bisa menghianatinya. Aku perlu sesuatu untuk membuatku mengalihkan diri. Hanya sesuatu, tak perlu sesorang. Aku sadar, meminta seseorang sangatlah tak memungkinkan. Aku sadar, diri ini terlalu jauh melangkah. Tapi lagi-lagi aku tak bisa menolak pesonanya. Aku terbuai dan terjatuh di keadaan yang sama. Lalu kembali menyesalinya. Cukuplah diriku yang menyesalinya. Tak perlulah menambah beban untuk penghianatan ini. Aku tahu aku salah. Tapi aku tak bisa munafik berkata menolaknya. Aku sadar terlalu pekat awan hitam yang menyelimuti hari-hari ku. Aku sadar bahwa matahari tak bisa menembus awan pekat itu. Terlalu pekat sampai kau tidak bisa menilai apa yang sebenarnya terjadi diluar sana. Terlalu pekat bahkan jika aku berusaha untuk menembuskan, itu adalah hal yang sia-sia. Aku berjalan dalam kesendirian ini. Aku mencoba untuk melupakan segalanya. Aku telah hancur. Lebih dari berkeping-keping. Karena cintaku, karena rasaku yang tulus padamu. Begitu dalamnya aku terjatuh. Dalam kesalahan rasa ini.
Entah kenapa akhirnya aku malah menyanyikan lagu itu. Sungguh, ini diluar kendaliku.
Maafkan aku. Lagi-lagi aku khilaf 😢
Tuesday, December 29, 2015
Aku...
Tuesday, December 8, 2015
Diam.
Seandainya kata-kata bisa terucap tanpa perlu bersuara. Mungkin semua takkan sesulit ini. Mungkin tak akan ada kebohongan. Mungkin segala sesuatunya menjadi lebih mudah. Atau mungkin sebaliknya.
Tak sedikit orang yang lebih memilih diam, padahal ada begitu banyak kata yang tertahan di lidahnya. Bagai sebuah buku yang masih tersegel rapih, berharap ada seseorang yang mau 'membacanya'.
Tapi nyata nya itu mustahil untuk saat ini.
Terkadang orang berpikir lain tentang diam. Atau malah salah mengartikan diam nya itu. Padahal dalam diamnya itu dia berteriak. Dalam diamnya itu dia selalu berkata jujur. Dalam diamnya itu dia marah. Tapi semuanya seakan terhalang oleh keadaan. Memaksanya kembali menelan mentah kata-kata itu. Menguncinya rapat dalam hati. Berharap ada orang yang menemukan kuncinya. Membantu mengeluarkan apa yang seharusnya, tanpa perlu lagi bersusah payah berusaha.
Aku iri.
Kepada orang-orang yang dengan mudahnya menumpahkan pikirannya. Orang-orang yang tak perlu lagi memilih kata mana yang harus dipilih, bagaimana penyusunannya, apa responnya, dan sebagai nya.
Iri kepada orang-orang yang dengan sadarnya mengatakan omong kosong. Tersenyum manis atas kebohongannya, lalu perlahan membunuh.
Kenapa aku tak bisa seperti mereka? Yang dengan mudahnya bersuara dengan lantang. Bersuara tanpa upaya. Aku tak tahu.
Dan lagi-lagi aku hanya bisa terdiam.
Monday, November 9, 2015
Monday, November 2, 2015
Terjatuh.
Ternyata aku kurang hati-hati dalam berjalan.
Aku terjatuh.
Kurasa aku terluka.
Kuperhatikan sekujur tubuh,
Tapi tak ada memar ataupun luka yang kutemui.
Rasa sakit pun tak ada.
Semua nya baik-baik saja.
Ah, tidak. Sepertinya ada yang ganjil.
Jantungku berdetak tak seperti biasanya.
Dibagian kiri dadaku terasa sesak.
Bagaikan ada ribuan kupu-kupu yang menyesakkan, berusaha untuk menghancurkan pertahananku.
Bahagia.
Mungkin ini yang dikatakan orang-orang.
Satu-satunya jatuh yang bisa membuatmu tersenyum.
Jatuh cinta..
Sunday, November 1, 2015
Bulan baru kuku baru.
Pertama-tama, gue mau berterimakasih sama Allah karna masih bisa ketemu bulan selanjutnya.
Lalu gue mau meratapi kuku yang botak ini :( Selamat tinggal kuku panjang cetanku. Terimakasih sudah menemani dalam segala kegiatan, tugas dan ulangan. Sampai ketemu bulan depan:')
Tuesday, October 27, 2015
Tuesday, September 1, 2015
Sunday, August 23, 2015
Friday, August 7, 2015
Hmm, ternyata begitu. Sudah kuduga.
Masih kuingat bagaimana wajah gugupmu saat mengatakan apa yang kau rasakan. Betapa senangnya dirimu saat aku mengatakan hal yang sama. Dan bagaimana rasanya saat untuk pertama kalinya kita berjalan berdampingan sambil bergandengan tangan dengan status yang berbeda.
Aku ingat saat itu. Karena hari-hariku terasa lebih menarik sejak saat itu. Kau, membawa suasana baru yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku juga ingat saat pertama kali kita menghabiskan waktu berdua di sebuah taman rekreasi. Bergandengan tangan dari satu wahana ke wahana yang lain, berfoto berdua dalam berbagai gaya, makan ice cream bersama, tertawa bersama dan juga istirahat karena kelelahan. Oh, dan makan malam sederhana yang istimewa, karena saat itu tepat sebulan kita bersama sebagai sepasang kekasih. Teringat bagaimana kau mengucapkan terimakasih dan mengatakan bahwa hari itu adalah hari terindah. Teringat bagaimana senyummu bahkan tak pernah hilang walau ku tahu kau lelah setelah seharian mencoba berbagai wahana. Kau terlihat sangat bahagia, begitupun aku.
Tapi aku sadar bahwa tak ada yang kekal di dunia ini, sama halnya dengan kebahagiaan. Bulan kedua dan ketiga kita dihadapkan oleh sesuatu yang mencoba memisahkan hubungan ini. Pertama kalinya kita marah besar karna hal yang sepele. Bagaimana sulitnya saat-saat itu, mengingat sebelumnya semua baik-baik saja. Sempat terucap kata untuk berhenti saja. Tapi kita beruntung, Tuhan masih tetap mengijinkan kita bersama. Malam itu kita memutuskan untuk bertemu dan membicarakan tentang hubungan yang sudah dua minggu tak tahu kejelasannya.
Di sebuah tempat makan biasa kita makan malam. Aku ingat saat waktu itu kita sedang serius membahas masalah hubungan ini saat seorang pengamen datang menyanyikan lagu yang sering kita nyanyikan. Ekspresi itu, aku mengingatnya. Masing-masing diri kita terdiam mendengar alunan musik yang membawa pikiran kita mengangat masa-masa indah dulu. Kita bertatapan sesaat setelah lagu itu selesai. Akhirnya kau membuka suara setelah terdiam cukup lama. Percakapan itu merubah semuanya.
"Kamu tau lagu itu, kan?" Dia menatapku dalam.
"Tau. Dulu kita sering nyanyi lagi itu." Aku mengenang saat dulu.
"Aku kangen saat-saat dulu." Dia
menggumamkan sederet kata itu. Dan aku mendengarnya.
"Aku juga." Aku bergumam pelan
Membenarkan kalimatnya.
Tiba-tiba dia menggenggam tanganku. Hangat.
"Aku pikir, kita bisa mulai lagi dari awal."
Diam menatapku lagi. Aku mengangguk
"Aku pikir juga begitu."
"Jadi, kita mulai semuanya malam ini. Kamu mau, kan?"
"Iya. Aku mau." Aku tersenyum. Sama seperti dia.
Mulai malam itu kita memulainya kembali.
Hari-hari selanjutnya terasa seperti dulu, saat pertama kali memulai hubungan ini. Dan setelahnya kita menjadi lebih dewasa dalam menyikapi masalah yang ada. Dan juga lebih terbuka.
Tak terasa setahun sudah kita bersama. Setelah kelulusan, kita dihadapkan oleh masalah yang lebih sulit. Jarak dan kepercayaan. Hubungan kita teruji kembali karena kita memilih jalan yang berbeda untuk tetap melanjutkan hidup. Kau memilih untuk meneruskan pekerjaan ayahmu, dan aku memilih menjalani hari sebagai mahasiswa di Indonesia. Jarak yang memisahkan kita bukan lagi tentang kota, provinsi dan pulau, tetapi benua. Jarak yang lebih jauh untuk sekedar bertemu melepas rindu. Masing-masing disibukkan dengan urusannya, kau dengan pekerjaanmu dan aku dengan tugasku. Sebisa mungkin komunikasi tetap kita lakukan meski perbedaan waktu yang kurang bersahabat.
Yakin. Satu kata yang selalu ku pegang dan ku rapalkan setiap hari. Aku yakin akhirnya akan bahagia. Aku yakin masing-masing dari kita saling menjaga kepercayaan. Aku yakin kau tak akan bermain sebagaimana diriku.
Keyakinan itu pun terwujud. Setelah berkutat dengan segala hal yang menyangkut perkuliahan selesai, kau memberi kejutan. Hari dimana aku wisuda, kau datang membawa bunga dan kerinduan. Aku menangis dalam pelukmu, terlalu bahagia. Lalu datang kejutan lain. Kau berlutut memegang sebuah benda berkilau, didepan ku dan di depan teman-teman serta orang tuaku. Kau melamarku. Hari itu terlalu bahagia. Lagi-lagi aku menangis terharu dipelukanmu. Melepaskan semua rasa rindu yang tertahan bertahun-tahun. Aku bahagia. Dan semakin bahagia saat kau mengatakan akan menetap di Indonesia. Jarak itu kini tak akan menggangu kebersamaan kita.
Untuk melepaskan rindu dan merayakan kedatanganmu serta kelulusanku, kita merencanakan liburan di sebuah pulau bersama dengan sahabat-sahabat. Sebuah pulau yang tidak terlalu ramai tapi mempunyai pemandangan yang indah. Hamparan pasir yang katanya putih (menurutku terlihat berwarna coklat), laut, pepohonan yang rindang, serta penduduk sekitar yang ramah. Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, kita memutuskan untuk istirahat terlebih dahulu. Lalu sorenya, kita berjalan di pesisir pantai. Masih dengan tanganmu yang menggenggam tanganku. Kau bercerita tentang berbagai hal. Aku tertawa saat kau menceritakan hal yang konyol dan kau juga tertawa saat menceritakannya. Kita tertawa bersama saat itu. Lalu kita duduk menunggu matahari terbenam. Sungguh indah saat itu, apalagi dengan hadirnya dirimu di sampingku. Duduk bersebelahan dengamu seperti yang biasa kita lakukan dulu.
Matahari semakin tenggelam berganti dengan langit senja yang indah. Kau pergi sebentat untuk mengambil minuman kaleng sedangkan aku tetap diam memandang langit dan laut. Dua hal yang bisa membuat orang tenang hanya dengan memandangnya.
Saat aku masih diam memandang laut, aku merasakan seseorang mengguncang bahuku pelan. Aku mengabaikannya karena masih tetap menikmati pemandangan. Guncangan di bahuku bertambah kencang dan membuatku kesal. Aku membalikkan badan untuk melihat siapa yang mengganggu waktu sendiriku. Saat aku berbalik, tiba-tiba semua menghitam.
Loh? Kok gelap?
Dalam kegelapan samar-samar aku mendengar sebuah suara. Tubuhku seperti terguncang lagi. Aku memfokuskan suara itu agar lebih jelas terdengar. Guncangan itu semakin kencang. Lalu terdengar suara itu lagi. Kali ini lebih jelas.
"De...bangun, de. Mama mau kerja."
"Nggh..apaan ma?" Aku berusaha bangun dan mengucak mataku kasar.
"Mama mau kerja. Kamu jangan tidur terus dong. Kamu itu perempuan harusnya bangun pagi. Itu cucian yang di keranjang dicuci sekarang mumpung masih pagi biar siang udah kering terus-"
"Ma sekarang hari apa?" Aku memotong ceramah mama.
"Senin. Udah cepet bangun. Kamu ga kuliah?"
"Eh?" Aku bingung. Kuliah? Kan udah wisuda?
"Udah cepet bangun. Mama berangkat sekarang. Jaga rumahnya."
Lalu mama pergi meninggalkan aku yang masih kebingungan. Aku mengambil Handphone yang berada di meja belajar. Menatap layar yang menyala itu selama beberapa saat.
Kemudian aku menyadari sesuatu.
Tanggal, bulan dan tahun yang kulihat berbeda jauh dari saat aku berlibur di pantai.
Ternyata itu hanya mimpi.
Hmm..mimpi yang sangat panjang.
Tunggu, mimpi?
JADI, ITU HANYA MIMPI?!
Sial!
Friday, July 31, 2015
Friday, July 10, 2015
Monday, June 15, 2015
Kau dan segala sikapmu.
Thursday, June 4, 2015
Saturday, May 30, 2015
Begitulah.
Jika Tuhan mampu meluluh lantakkan bumi dalam hitungan menit, artinya gak mustahil Tuhan mampu membolak-balik kan hati manusia dalam sedetik. -@miemie19Falinda
Wednesday, May 27, 2015
Thursday, May 21, 2015
Tentang kehilangan
Aku mengenalmu tanpa sengaja. Dan aku melupakanmu dengan kesengajaan. Sekarang kamu bisa tahu kan, mana yang direncanakan Tuhan dan mana yang tidak?
Thursday, May 7, 2015
Saturday, May 2, 2015
Tentangmu.
Aku bahagia pernah mengenalmu dan mengagumimu meski kulakukan dalam jarak yang terlalu jauh.
Aku bahagia pernah melihatmu walau hanya hitungan jari.
Aku senang mendengar ceritamu meski aku tahu ada yang lain yang lebih senang karenamu, bukan hanya ceritamu.
Maaf, mungkin kau merasa terganggu dengan segala tingkahku.
Seharusnya aku tahu akan berakhir seperti ini: dan selalu sama seperti ini.
Tapi aku tetap bertahan dengan kata "mungkin" yang entah sudah berapa kali kuyakini.
Sampai aku tersadar akan suatu hal yang membuatku terdiam lama.
Cukup lama, kurasa.
Kata "mungkin" yang selama ini kupegang mulai rapuh.
Rerakan demi retakan mulai terlihat jelas dipermukaannya yang halus.
Retakan yang semakin lama semakin bertambah.
Retakan yang membuat semua kalimat "mungkin" berubah menjadi, "berhenti sekarang"
Iya, aku selesai. Walau aku tak tahu apa cerita ini pernah dimulai atau tidak.
Monday, March 23, 2015
Jordi dan Rina, iseng story [2]
Sunday, March 22, 2015
Saturday, March 21, 2015
Friday, March 20, 2015
Tentang cinta.
Aku tak percaya cinta masih ada saat ini. Keberadaannya sulit di prediksi. Terkadang cinta terasa kuat kurasakan. Lalu dia menghilang tergantikan oleh kehampaan. Masing-masing bagian cinta seakan memendam dendam. Bagaikan dua kubu yang bertentangan. Dan ada jarak diantara keduanya.
Aku berusaha mendekatkan jarak antara mereka. Namun, mereka tetap pada pendiriannya. Yang satu mencurigai yang lain, dan yang lain membenci kecurigaan yang satu. Terus begitu sampai sesuatu yang besar bisa menyadarkan mereka, bahwa jarak yang mereka buat sudah terlalu jauh.